Keluarga Cemara |
Malam itu serasa surreal. Saya yang
baru saja rampung melahap suguhan sci-fi nan
elegan milik Nolan, Interstellar, kembali
harus terdiam sembari mengawang-awang setelah membaca bab terakhir Naruto. Untuk alasan yang pertama, tentu
karena terkagum. Hampir selama 3 jam, saya menikmati visual megah dengan
sentuhan Odissey-esque dan muatan
emosional yang pas. Untuk alasan yang kedua, karena muatan emosional yang
membuncah. Pikiran saya kacau untuk sejenak, karena komik yang saya ikuti sejak
12 tahun silam, malam itu tamat. Bukan hal mengejutkan memang, karena Naruto sendiri sudah sejak jauh-jauh
hari dikabarkan oleh Masashi Kishimoto—sang empunya karya—akan tamat jelang penutupan
2014. Bukan karena ada twist yang
sedemikian mengejutkan dari segi plot juga, karena menurut hemat saya komik ini
sudah mengalami degradasi kualitas sejak cukup lama; yang mana, hal ini
mengakibatkan cerita jadi mudah ditebak dan terkesan ‘terpaksa selesai’ lebih
lekas.
Naruto
memang
tidak menempati posisi nomor wahid dalam deretan komik terbaik yang pernah saya
baca. Tapi, Naruto pernah membuat
saya tergila-gila selayaknya saat saya membaca komik favorit saya sepanjang
masa, Dragon Ball, dulu. Apa
alasannya? Mari sedikit bernostalgia.