Gambar kanan, pojok kiri berkumis. Are you Frank Rijkaard in disguise? |
S
|
alah satu
keunggulan lirik lagu berbahasa daerah, adalah kemampuannya untuk membuat para
pendengar merasa ‘dekat’ dengan sang empunya karya. Selain karena faktor kesamaan budaya,
tema yang diangkat dalam lirik lagu berbahasa daerah seringkali dianggap
lebih mampu untuk merepresentasikan fenomena di sekitar mereka —yang belum
tentu mampu ‘disentuh’ oleh lirik berbahasa Indonesia. Dalam kasus ini, seringkali dua unsur penting dalam
jagad hiburan (penyanyi dan pendengar) disatukan oleh faktor kedekatan dan fungsi keterwakilan.
Dari sekian
banyak musisi yang konsisten berjalan di jalur musik ini, lancang rasanya jika
tidak menyebut Didi Kempot sebagai salah satu maestronya. Hampir dua dekade
berkarya, hingga kini Didi Kempot masih berdiri di garda terdepan musik campursari, dengan
hit-hit yang menjadi pilihan utama untuk menunjang fasilitas ‘full music &
karaoke' di hampir seluruh bis trayek pulau Jawa. Mungkin jika para pekerja dan
perantau dari tanah Jawa ditanya perihal “Siapa yang lebih berjasa di dalam hidup
kalian, antara Didi Kempot atau Soekarno-Hatta?” bukan tidak mungkin, nama yang
disebut pertama akan keluar sebagai juaranya.
Kekuatan lagu
milik Didi Kempot, terletak pada departemen lirik dan aransemen yang sederhana. Lirik yang mengandalkan rima, bercampur dengan bebunyian gamelan dan keyboard
yang tak disertai dengan kompleksitas aransemen. Di beberapa lagu, Didi
Kempot gemar melafalkan liriknya dengan gaya yang ‘Njawani tenan’. Jauh sebelum Bams Samsons dan Ivan Seventeen
melafalkan lirik berakhiran “..errr” dengan
penuh tekanan sebagaimana posisi Moyes di United, Didi Kempot telah
melakukannya terlebih dahulu di tembang “Cintaku Sekonyong Konyong Koder”.
Berbekal
beberapa kaset berserta vcd (bajakan) lawas milik orangtua saya yang cukup lama
terbengkalai di rak, saya mencoba menyusun beberapa karya milik Didi Kempot
yang sekiranya patut untuk Anda dengar. Susah susah gampang untuk melakukan hal ini. Karena
jujur saja, untuk menelusuri diskografi Didi Kempot ini cukup sulit. Semenjak
SD, saya selalu mengenal hit-hit Didi Kempot sebagai single yang dilepas satu per satu, bukan menjadi satu dalam
rangkaian album. Meski pemilik nama asli Didi Prasetyo ini termasuk giat dalam
menelurkan album —pernah ia membuat 12 album dalam satu tahun & mengaku sudah membuat 70 album sepanjang karirnya, namun tak banyak
yang mengetahui mana sebetulnya yang merupakan album rilisan resmi Didi Kempot.
Meski tak semua, tapi sebagian besar penikmatnya justru lebih banyak mengoleksi
kepingan cakram bajakan dari penjaja CD di pinggir jalan —termasuk saya. Saya
berani bertaruh, jika Anda berkunjung ke daerah perkampungan di Jawa Tengah,
Jogja, ataupun Jawa Timur, pasti paling tidak ada 5 dari 10 orang yang pernah
memiliki/masih menyimpan CD bajakan Didi Kempot.
Wis ah, akehan nyengep ndak tulisane ra
rampung-rampung. Monggo, mang pirsani!
10. “Kuncung” — Album
Emas Didi Kempot Vol. 4
Bagian terbaik: “Kosokan watu neng kali nyemplung neng kedhung
(byuuur). Jaman ndhisik, durung ungsum sabun (pabrik’e
rung dibangun). Andukku cukup mung anduk sarung,
dolananku montor cilik saka lempung.”
Lagu
yang bercerita tentang masa kecil seorang pemuda desa, yang dikemas secara apik
dengan lirik nan jenaka. Meski tak pernah mengalami kejadian serupa, pendengar
lagu ini seakan mampu dibuat untuk merasakan suasana pedesaan dengan segala
kesederhanaannya. Tak lupa juga, Didi Kempot menyertakan gambaran umum
cita-cita pemuda desa, yang diharapkan orangtuanya agar kelak menjadi orang
sukses —dengan profesi dokter yang menjadi tolak ukurnya. Puisi karangan Aji
Saka atau yang lebih dikenal sebagai aksara Jawa, juga dilagukan secara baik
dan menjadi sisipan yang cukup menarik.
9. “Solo Balapan” — Album Emas Didi Kempot Vol. 1
Bagian terbaik: “Jare lungo mung sedelo, malah tanpo kirim warto.
Lali opo pancen nglali, yen eling mbok enggal bali.”
Pernah mengantar
orang tersayang ke stasiun untuk bepergian jauh dalam kurun waktu yang cukup
lama? Jika belum, bersyukurlah. Tapi kalau suatu saat Anda harus menghadapi
situasi seperti ini, saya menyarankan untuk tidak mendengarkan “Solo Balapan”
dari jauh-jauh hari. Bagaimana tidak, di dalam
lagu yang sempat ditolak banyak pedagang kaset karena nadanya dianggap
ugal-ugalan ini, Didi Kempot bercerita tentang pengalaman
pahitnya ditinggal orang terkasih, setelah disuguhi janji-janji manis untuk
segera kembali. Di era yang belum terlalu melek teknologi —saat itu, berkirim
surat untuk sekedar menanyakan kabar pasangan dari kota seberang adalah hal
yang teramat romantis. Sayang, Didi Kempot tak mendapati hal seperti itu dalam
kurun waktu yang cukup lama. Sang pasangan, akhirnya meninggalkannya dalam diam
dan keheningan.
8. “Parangtritis” — Album Emas Didi Kempot Vol. 4
Bagian terbaik: “Naliko udah
gerimis Rebo wengi malem Kemis, ra nyono ra ngiro janjimu jebul mung lamis.”
Dibuka
dengan alunan nada diatonis dan diiringi dengan betotan bass berulang yang
bernuansa groovy, “Parangtritis”
adalah salah satu hit Didi Kempot dengan intro terbaik. Lirik berima yang mampu
disusun dengan ciamik dalam lagu ini pun, sangat jauh dari kesan dipaksakan. Lagu yang bercerita tentang kenangan berwisata di kawasan Pantai Selatan ini, mampu mengemas sebuah
kisah nestapa dengan nuansa yang ceria. Ringan, cocok didengar bagi mereka yang
ingin mengenang saat terindah bersama mantan terkasih, tanpa perlu terjebak dalam
ruang nostalgia yang kelewat dalam.
7. “Ketaman Asmoro” — Ketaman
Asmoro
Bagian terbaik: “Bingung rasane atiku, arep sambat nanging karo
sopo”
Bagi
saya, ini adalah lagu Didi Kempot dengan nuansa paling kelam. Tidak seperti di
lagu-lagu lain yang sering dibawakan secara slengean
dengan nuansa ala jalanan yang kental, di sini ia terdengar betul-betul ‘bernyanyi’
selayaknya penyanyi balad sungguhan. Yang mendengarkan lagu ini, seperti diajak untuk meratapi
kesendirian dengan suguhan lirik nan melankolis macam “bingung
rasane atiku, arep
sambat nanging karo sopo” untuk
kemudian dihajar lagi dengan lirik miris “nyatane ora kuwowo, nyesake atiku sansoyo
nelongso”.
6. “Sewu Kuto” — Album
Emas Didi Kempot Vol. 1
Bagian terbaik: “Umpamane
kowe uwis mulyo, lilo aku lilo”
Didi
Kempot berbicara tentang makna mengikhlaskan, tanpa perlu terkesan menggurui. “Sewu
Kuto” mampu menampilkan sisi kerinduan dan ketulusan seseorang untuk
mengikhlaskan dalam waktu yang bersamaan. Ada peralihan tempo yang asyik, saat
iringan musik campursari dengan tempo lambat kemudian beranjak menjadi cepat di
“pirang
taun anggonku nggoleki”; dan menempatkan tabuhan gendang sebagai elemen
utamanya. Mengutip istilah Jawa, lagu ini digambarkan dengan istilah: “Nggrantes ki keno, ning aja nemen.”
5.
“Layang Kangen” — Album
Emas Didi Kempot Vol. 4
Bagian
terbaik: “Umpama tanganku dadi suwiwi,
iki ugo aku mesti enggal bali”
Kembali,
tabuhan gendang menjadi aksen kuat dalam lagu Didi Kempot. Porsi iringannya di
bagian refrain, memberi corak yang
cukup khas dalam lagu ini. Saya beberapa kali menyaksikan penampilan Didi
Kempot, dan salah satu yang paling berkesan adalah saat tampil di kampung saya;
tatkala tetangga saya —yang juga merupakan personel iringan band Didi Kempot
mengggelar pesta sunatan anaknya (kalau tidak salah). Kala itu, saya
terkagum-kagum melihat harmonisasi antara gendang dengan vokal Didi Kempot yang
terdengar sengau-sengau-seperti-kehabisan-suara saat membawakan “Layang Kangen”,
mampu membuat kaki dan jempol tangan saya turut bergoyang.
4.
“Nunut Ngiyup” — Album Emas Didi Kempot Vol. 1
Bagian
terbaik: “Langite peteng ndhedet hawane adem banget. mbok kulo dijak mlebet, kersane tambah anget”
Saat
hujan turun dengan deras dan Anda harus berteduh seorang diri di emperan toko,
apa yang Anda lakukan untuk mengisi waktu luang? Jika pertanyaan ini diajukan
kepada remaja jaman sekarang, mungkin sebagian besar akan menjawab “nge-tweet: coba ada kamu di sini, pasti jauh
terasa lebih hangat.’” Tapi, tidak dengan Didi Kempot. Adik dari pelawak
kawakan Mamiek Prakoso ini, lebih memilih untuk menciptakan lirik lagu —yang
kemudian liriknya kita temui dalam lagu “Nunut Ngeyup”. Lagu bernuansa ceria ini, dipenuhi dengan kesederhanaan pola pikir yang dibalut dalam lirik yang gamblang.
Seperti terlihat di lirik “nunut leren, kula nunut leren.
ajeng mantuk sampun kewengen.”
3. “Cidro” — Album Emas Didi Kempot Vol. 1
Bagian terbaik: “Aku nelongso mergo
kebacut tresno”
Dibuka
dengan ketukan keyboard ala 80’an yang dibarengi oleh bebunyian flute, tabuhan
gendang, dan porsi solo-guitar yang pas; Didi Kempot kemudian menutup intro
miliknya dengan lirik pengantar yang teramat pilu, seperti: “wis sak mestine ati iki nelangsa,
wong sing tak tresnani mblenjani janji”. Irama keyboard yang bersahut-sahutan dengan gitar kencrung dan flute sebelum menginjak bagian chorus, selalu terdengar begitu sempurna bagi saya. Meski di beberapa bagian, vokal Didi Kempot terdengar datar —mungkin karena tuntutan penjiwaan lagu, tapi tetap tidak mengurangi kadar ciamiknya lagu ini. Lirik? Tengok ini: “Opo mergo kahanan uripku iki, mlarat banda seje karo uripmu”, kalau Anda kehabisan kata-kata untuk menggambarkan kekaguman akan lirik yang demikian jujur ini, Anda tidak sendirian. Yang menulis artikel ini, sudah mengalaminya terlebih dahulu.
wong sing tak tresnani mblenjani janji”. Irama keyboard yang bersahut-sahutan dengan gitar kencrung dan flute sebelum menginjak bagian chorus, selalu terdengar begitu sempurna bagi saya. Meski di beberapa bagian, vokal Didi Kempot terdengar datar —mungkin karena tuntutan penjiwaan lagu, tapi tetap tidak mengurangi kadar ciamiknya lagu ini. Lirik? Tengok ini: “Opo mergo kahanan uripku iki, mlarat banda seje karo uripmu”, kalau Anda kehabisan kata-kata untuk menggambarkan kekaguman akan lirik yang demikian jujur ini, Anda tidak sendirian. Yang menulis artikel ini, sudah mengalaminya terlebih dahulu.
2.
“We Cen Yu” — Didi Kempot & Batara Grup
Bagian
terbaik: “Mbe mu pis, lambemu sing
tipis. Mbut mu wo, rambutmu sing
dowo”
Karya awal Didi Kempot, semasa masih tergabung bersama Batara Grup. Lagu
ini digarap di studio milik Nompi No Koes di bilangan Depok Lama, dan kemudian
mengantarkan mantan pengamen jalanan ini menuju jenjang karir yang lebih melesat. "We Cen Yu" merupakan tonggak sejarah Didi Kempot yang (mungkin) belum banyak dikenal publik, karena kurang dikenal dibanding lagu hit-hit Didi Kempot lainnya. Padahal di Suriname, "We Cen Yu" begitu digemari masyarakat keturunan Jawa di sana. Lagu ini kemudian menjembatani —juga mengawali hubungan Didi Kempot dengan penikmat campursari dan musik Jawa yang berada di Suriname. Dan yang tidak kalah pentingnya, nomor ini juga berjasa memantapkan pilihan Didi Kempot untuk menjadi penyanyi profesional —setelah menerima bayaran pertama sebagai musisi, dalam jumlah yang cukup besar. Keistimewaan "We Cen Yu" juga terletak pada aransemen unik yang ada di dalamnya; menggabungkan nada pentatonik khas Erhu, dan dipadupadankan dengan petikan walking-bass serta ketukan electric drum khas Pop Jawa. Sahut-sahutan vokal Didi Kempot
dengan vokal latar, terdengar begitu dinamis dan asyik didengar. Satu lagi, vokal merengek di
bagian “kowe pancen ayu!” juga
menjadi bagian yang paling mudah untuk diingat.
1.
“Cintaku Sekonyong-Konyong Koder” — Album
Emas Didi Kempot Vol. 4
Bagian
terbaik: “Cintaku
sekonyong-konyong koder, paribasan durung demok wani panjer”
Megah. Satu kata yang menggambarkan aransemen musik “Cintaku Sekonyong-Konyong Koder” secara keseluruhan.
Kejeniusan Didi Kempot (dengan bantuan pemusik Ranu Suryanto dan Agus Genjik
yang selama ini bekerjasama dengannya) terlihat betul tatkala berani mengambil
keputusan untuk melaras ulang nada musik karawitan yang berskala pentatonis menjadi
diatonis, dan memberikan porsi yang cukup banyak ke dalam aransemen lagu ini. Saya
masih sering merinding, membayangkan kebersamaan saya dengan teman-teman semasa
kecil untuk berlomba-lomba menyanyikan rima di lagu ini dengan benar. Vokal ala
pengamen jalanan yang dibalut dengan tata musik yang sempurna, membuat lagu ini
terkesan mewah tapi juga terdengar catchy.
Saat memasuki bagian minim instrumen pun tak kalah epik; tengok 10 detik
menakjubkan di lagu ini, saat Didi Kempot hanya melibatkan solo gendang dan icik-icik tamborin, untuk mengiringi
repetan lirik berima ‘-it’ dengan tempo cepat ini. Maestro yang pernah
tergabung dalam grup Kelompok Penyanyi Trotoar
—yang kemudian akronimnya dijadikan nama panggung ini,
berhasil menumpahkan kekagumannya kepada seorang anak penjual lemper dengan lirik yang
teramat jujur dan romantis.
Mahakarya.