Live
Review: A Rocket To The Moon & All Time Low
23 Agustus 2013, Senayan Swimming Pool Area, Jakarta.
23 Agustus 2013, Senayan Swimming Pool Area, Jakarta.
Konser penuh bra berterbangan yang diawali dengan aksi pembuka nan semenjana.
tulisan ini juga tayang di sini.
Mengundang lebih dari
satu band atau musisi kenamaan dalam waktu bersamaan, bukanlah tren baru bagi
para penyelenggara konser di negeri ini. Terlebih jika masing-masing dari mereka
sudah memiliki barisan penggemar yang sudah cukup solid di tempat
penyelenggaraan acara. Hal inilah yang dilakukan oleh Java Musikindo —selaku
promotor, dengan menghadirkan dua band internasional sekaligus, A Rocket To The
Moon dan All Time Low dalam satu kesempatan pada Jumat (23/8) lalu. Bertempat
di Senayan Swimming Pool Area, Jakarta, konser yang dikonsep secara outdoor ini dihelat pada pukul 19.00.
Sedari
awal, A Rocket To The Moon memang sudah mencanangkan Indonesia ke dalam farewell tour-nya, setelah mereka
memutuskan untuk bubar pada medio 2013 lalu —tak lama setelah merilis album
studio kedua mereka, Wild & Free. Namun
sayang, penampilan mereka malam itu seakan meruntuhkan ekspektasi para
pengunjung yang menginginkan performa apik, sebagaimana penampilan sebuah band
yang sedang melakoni farewell tour. Sekalipun ini bukan kali
pertama mereka menyambangi Jakarta, A Rocket To The Moon seakan lupa, bahwa apa
yang mereka tampilkan di akhir kesempatan seringkali menjadi cetak biru dalam
kerangka apresiasi para penggemar.
A
Rocket To The Moon membuka pertunjukan dengan “If Only They Knew”, sebuah nomor
yang diambil dari mini-album Greetings
From; album di mana mereka baru saja beralih dari sebuah band eksperimental
dengan sentuhan bit-bit elektronik,
menjadi sebuah band alternative dengan sedikit nafas punk dan sesekali sisipan elemen
country. Nick Santino yang kemudian menyapa para penggemar setelah selesai
membawakan lagu, berhasil membuat para remaja putri usia belasan memekikkan
kata “NICK! NICK! I LOVE YOU!” dengan
volume maksimal secara
berulang-ulang. Berurutan setelahnya, A
Rocket To The Moon membawakan “Wild & Free”, “Give a Damn”, “Whole Lotta
Love” dan “Baby Blue Eyes”. “Baby Blue Eyes” adalah lagu pertama yang paling
banyak mengajak para penonton untuk sing
along. Dibawakan dengan set akustik, nomor ini seakan menjadi panduan bagi
bejubel pasangan remaja urban yang hadir, untuk kemudian saling menatap dan
berbisik mesra, “Baby, baby blue eyes / stay
with me by my side / til the mornin', through the night” satu sama lain.
Tanpa
banyak melakukan interaksi dengan penonton, kemudian mereka membawakan lagu
hitnya seperti, “On A Lonely Night”, “On Your Side”, “Dakota” dan lagu andalan,
“Like We Used To”. Nick Santino sempat mengungkapkan antusiasnya untuk
kembali datang ke Jakarta, dengan berkata, “It’s
feeling good to comeback. Yeah, it’s need a long time to comeback,” dan
kemudian melakukan formalitas band internasional sebagaimana biasanya: menyapa para
penggemar dengan bahasa lokal nan terbata-bata. Nick mengucapkan “Aku cinta Jakarta,” dan kemudian diikuti
—sudah bisa diduga oleh teriakan histeris dari para penonton. Ada yang
berteriak kencang, ada pula yang kemudian membentangkan sebuah kertas
bertuliskan, “We love you, A Rocket To
The Moon. Please follow me (@namaakunpribadi),” sebuah terobosan baru dalam
jagad konser, selain merekam berbagai momen berharga di panggung dengan aneka
ragam gadget berukuran besar. A
Rocket To The Moon menutup konser dengan lagu “Mr. Right”, dan kemudian
mengucapkan salam perpisahan kepada para penonton, karena ini akan menjadi
konser terakhir mereka di Jakarta. Total mereka membawakan 14 lagu. Sebelum bubaran, terlihat mereka sempat
mengabadikan beberapa moment dari atas
panggung, untuk kemudian diunggah ke jejaring sosial milik personel
masing-masing.
Sayang,
skema haru dan romantis yang sudah dirancang sedemikian rupa ini harus
terganjal oleh masalah tata suara dan visual. Beberapa kali, microphone yang digunakan oleh Nick
Santino terdengar mati. Pun dengan visual yang hanya terkesan ‘seadanya’ saja.
Tidak ada tata cahaya yang sedemikian rupa, atau juga persiapan tata panggung
khusus. Hanya dengan lampu sorot beberapa warna, latar belakang kain hitam
berukuran besar tanpa layar yang menampilkan visual di sebelah kanan dan kiri,
panggung malam itu malah nampak seperti panggung pentas seni anak SMA atau
panggung gelaran festival clothing penuh
diskon. Barangkali jika tidak ada sorak sorai dan penampakan penonton yang
mengenakan merchandise A Rocket
To The Moon, tidak akan ada yang mengira kalau ini adalah panggung band
internasional.
Penempatan
A Rocket To The Moon juga terkesan membingungkan. Untuk kelas band pembuka,
mereka membawakan terlalu banyak lagu dan diberi porsi waktu yang cukup lama.
Namun jika ditempatkan sebagai sesama penampil —setingkat dengan All Time Low, mereka
sama sekali jauh dari predikat itu. Nampak tidak ada efisiensi fasilitas yang
ada di panggung, atau sedari awal itu semua memang hanya dipersiapkan untuk
band selanjutnya, All Time Low. Yang jelas, untuk sebuah pertunjukan berlabel ‘farewell tour’, penampilan A Rocket To The
Moon malam itu terlihat mengecewakan.
Setelah
A Rocket To The Moon rampung melaksanakan tugasnya, panggung nampak gelap untuk
sesaat. Samar-samar, terlihat ada beberapa kru yang nampak sedang mempersiapkan
alat untuk All Time Low. Beberapa perombakan pun dilakukan, seperti pergantian
set-drum, perubahan kabinet gitar, dan yang paling kentara adalah pemasangan
sebuah kain hitam besar bertuliskan “All Time Low” sebagai latar panggung. Saat
jeda ini berlangsung, terlihat beberapa penonton baik dari yellow zone maupun red zone merangsek
keluar untuk sekedar membeli minuman atau makanan.
Ada
salah satu kejadian menarik, saat di mana seorang teknisi di area front of house (foh) memutar sebuah
nomor lawas milik Blink-182, “All The Small Things” sebagai musik latar. Sontak
hal ini menimbulkan sing-along dari
penonton yang masih berada di area konser. Maklum saja, Blink-182 yang didaulat
sebagai pionir pop-punk, memang dikenal menjadi acuan utama beberapa band
pop-punk generasi sekarang, tidak terkecuali All Time Low. Bahkan, sang
drummer, Rian Dawson, memiliki tato bergambar logo Blink-182 di lengan
kanannya. Di beberapa kesempatan, All Time Low sering membawakan lagu-lagu
Blink-182, seperti “All The Small Things”, “Time to Break Up” dan ‘Dammit”.
Tidak ketinggalan, saat menyambangi Jakarta pada 2010 silam, mereka membawakan “Dammit”
berkolaborasi dengan jawara pop-punk lokal, Rocket Rockers. Beberapa
orang bahkan menyebut mereka sebagai “Blink-182 of this generation.”
Saat
lampu di area konser dimatikan, tiba-tiba All Time Low menghentak dengan lagu “Lost
in Stereo”. Penonton yang tadinya terkesan pasif dan malu-malu untuk bergoyang
di penampilan A Rocket To The Moon, berhasil dibujuk untuk ‘keluar sarang’
lewat single dari album Nothing Personal ini.
Belum nampak hiasan bra yang biasanya terpasang di stand-mic milik sang gitaris, Jack Barakat, pada lagu pertama kali
ini. Entah para penonton lupa membawa stok bra cadangan, atau memang mereka masih
merasa belum cukup nyaman untuk melepasnya.
Tanpa
panjang lebar, Alex Gaskarth (Vokal/Gitar), Jack Barakat (Gitar), Rian Dawson
(Drum) dan Zack Merrick (Bass) langsung menimpali dengan salah satu hit mereka (masih)
dari album Nothing Personal, “Damned
If I Do Ya”. Sahut-sahutan part gitar
antara Alex dan Jack dalam lagu ini, nampaknya berhasil membuat para penonton
untuk melakukan ritual konser All Time Low sebagaimana biasanya: saling
melempar bra ke panggung. Bukan pemandangan yang aneh, apabila kemudian kita
melihat Alex mengarahkan mic ke penonton saat berteriak, “Damned if do ya..” namun tidak mendapat balasan “…damned if I do!” dari para penonton,
melainkan malah mendapat balasan bra yang berterbangan ke arah panggung “. Dari lagu ke lagu, Alex berhasil memimpin koor para
penonton; seperti pada nomor “Six
Feet Under The Stars” ,“Stella”, dan “For Baltimore”. Termasuk
saat Alex melakukan solo akustik dengan memainkan “Remembering Sunday”,
di mana bagian vokal Juliet Simms dilafalkan dengan sempurna oleh para penonton.
All Time
Low juga terlihat atraktif, dengan selalu mengajak penonton untuk melakukan
interaksi. Mereka sempat mengajak penonton untuk mengucapkan selamat ulang
tahun kepada salah satu teknisi gitar mereka, Danny. Toilet jokes yang membicarakan masalah seks dan hal-hal berbau
porno khas band pop-punk juga sempat mereka lontarkan, bahkan mereka sempat
mendapati bahwa mereka dilempari mainan berbentuk penis, kemudian berkelakar “Why you guys do this to me?”, dan
kemudian disambut gelak tawa para penonton. Antusias penonton ini bahkan
mendapatkan pujian dari Alex, “Kalian semua gila. Kami telah banyak melakukan
pertunjukan, dan jarang sekali mendapatkan sambutan seperti ini. Kalian semua
bahkan jauh terlihat bisa bersenang-senang, dibanding dengan para penonton di Amerika,
Australia dan Eropa.”
Dari segi
performa dan tata visual mereka juga terlihat lebih baik dibandingkan performa
sebelumya. Bahkan untuk kesempurnaan tata suara, terlihat Alex sempat beberapa kali
berganti gitar, mulai dari Custom Paul Reed Smith Mira sampai
Gibson Les Paul, untuk menyesuaikan karakter suara di tiap-tiap album All Time
Low. Mereka juga nampaknya paham betul dengan ketidakakraban para penggemar dengan
lagu-lagu di album Dirty Work, dan
berinisiatif hanya membawakan satu lagu dari album itu, “Timebomb”. Maklum
saja, Dirty Work merupakan album yang
dikritik karena meninggalkan karakter pop-punk yang selama ini mereka miliki. Peralihan
label rekaman dari Hopeless Records ke Interscope Records, juga disinyalir sebagai
salah satu penyebab utama album ini menjadi sebuah album yang flop.
Sebelumnya, pihak penyelenggara memberitahu bahwa
akan ada perayaan kembang api dari venue lain,
pada saat konser berlangsung. Dan tepat sebelum perayaan kembang api tersebut,
All Time Low memutuskan untuk melakukan jeda. Seperti biasa, teriakan “We want more,” dari penonton juga terus
berkumandang. Saat pesta kembang api belum sepenuhnya usai, All Time Low
kembali berada di atas panggung. Seakan tidak peduli dengan keriuhan yang
berasal dari ledakan kembang api tersebut, mereka langsung menggeber dengan
lagu “Weightless”. Dan benar saja, sing-along
dari penonton bahkan mampu menenggelamkan suara kembang api tersebut.
Sebelum menutup penampilannya, ia mempersilakan
seorang penonton untuk maju. Seorang wanita pun dengan antusias langsung
merangsek naik ke atas panggung, dan mendapat pelukan hangat dari Alex dan
Jack. Alex sempat berkelakar, bahwa wanita yang naik ke atas panggung merupakan
sosok yang pas untuk menjadi seorang bartender —yang akan meracik minuman untuk
teknisi gitar yang sedang berulang tahun, Danny. Interaksi sang penonton dengan
All Time Low, berakhir dengan kecupan dari Alex dan Jack yang mendarat tepat di
keningnya. Hal ini sontak memancing emosi para wanita yang ada di deret
penonton untuk mengumpat kepadanya, dan mencari tahu lewat jalan mana ia akan pulang.
Namun seolah tidak peduli dengan kecemburuan
para penggemar wanitanya, All Time Low langsung memainkan nomor dari album So Wrong It’s Right, “Dear Maria Count
Me In”. Dan lagi-lagi Alex berhasil memandu para penonton untuk bernyanyi
bersama. Seperti biasa, setelah Alex dan Jack melakukan atraksi saling lempar
gitar pada bagian interlude “Dear
Maria Count Me In” di konser live mereka,
mereka langsung mengarahkan microphone ke
arah penonton untuk membalas seruan, “I
got your picture…” dengan teriakan “Im
coming with you”. Sebuah pemilihan lagu penutup yang pas, karena beberapa bagian
di lagu ini yang memang membutuhkan sahut-sahutan dari banyak suara.
All Time Low membawakan total 16 lagu, dan menutup
konser ini dengan sebuah pertunjukan epik sebagai ‘penebusan dosa’ atas
kekurangan penampil sebelumnya. Andai saja tajuk konser ini adalah konser solo
All Time Low, tentu penilaian para penonton akan keseluruhan acara ini akan
lebih baik. Ini juga menjadi sebuah pembuktian menawan, kenapa All Time Low pantas
diganjar sebagai “Band of the Year” pada 2008. Sekaligus ingin menasbihkan
diri, bahwa mereka kini bukan lagi “Blink-182
of this generation”, melainkan “All
Time Low of this generation.”