Mini-Vidic, is that you? |
Sebelum Anda berpikir untuk meninggalkan laman ini karena judulnya yang gak banget — atau bisa dikatakan lebih mirip judul artikel sisipan majalah remaja wanita, yang berdampingan mesra dengan kolom “Zodiak Kamu Hari Ini” — percayalah, saya sudah berulang kali ketik-hapus-ketik-hapus judul, mulai dari: “Marco (O)Verrat(ed)ti”, “Marco Overrated Veratti (?)”. Terlihat rumit dan susah dibaca?Coba lihat ini:“Marco Veratti yang Ingin Dimengerti”Geli? Sama. Jadi saya pikir, judul yang saya pilih ini sudah yang terbaik. Harap maklum.
Adalah Zdenek Zeman, yang
bertanggung jawab atas gelar “The Next
Andrea Pirlo” yang disandang Verratti sejak umur 19 tahun. Ia yang pertama
kali mengubah posisi Verratti dari central
midfielder menjadi deep-lying
midfielder. Mengingat ia memang memiliki teknik, visi, dan juga akurasi passing di atas rata-rata, Veratti
nampak tidak kesulitan ketika beradaptasi dengan posisi barunya. Malah kalau
boleh dibilang, lebih nyetel
dibanding dengan penempatan posisi sebelumnya. Bersama Insigne dan Immobile, ia
berkontribusi untuk membawa Pescara promosi ke Serie-A dengan status jawara
Serie-B. Prandeli bahkan pernah mencantumkan namanya ke dalam 32 skuat yang
dibawa Italia ke Euro 2012, sebelum akhirnya dicoret bersama 6 pemain lain,
karena alasan seleksi dan perampingan tim.
Selayaknya animo calon mahasiswa
baru saat jumpa dengan penjaja buku — atau lebih tepatnya kumpulan fotokopi
buram — “Tips Sukses SNMPTN” seharga
15-ribuan di kala mengantre daftar masuk kuliah, Marco Verratti pun mendadak
menjadi incaran banyak klub karena berada dalam “waktu jual” yang tepat. Juventus,
Napoli, dan PSG secara terang-terangan menyatakan ketertarikan mereka untuk
menggunakan jasa pemuda kelahiran Manopello, Pescara ini. Saat itu, fans
Juventus boleh sedikit jemawa karena saat transfer-market berlangsung, beredar
luas foto Verratti cilik yang tengah mengenakan jersey Juventus + berbagai
kutipan tentang ketertarikannya untuk bermain di klub idola semasa kecilnya
itu. PHP level: comeback CR7 ke Old
Trafford.
Napoli pun nampak enggan kalah
dalam perburuan. Bahkan menurut kabar yang beredar, De Laurentiis sempat
menginstruksikan kepada Lorenzo Insigne untuk membujuk Veratti secara personal.
Mungkin tentang ajakan untuk kembali mengulang masa kejayaan di Pescara
bersama-sama di Naples. Mungkin.
Namun ibarat pria berseragam
orange dengan peluit di tangan yang-mendadak-entah-muncul-darimana saat kita
ingin memarkirkan/meninggalkan kendaraan di lokasi parkir, PSG tiba-tiba muncul
dan menyeruak dalam perburuan Marco Verratti.
Memang betul, pada saat bersamaan Ancelotti dan beberapa nama besar di
Serie-A melakukan eksodus besar-besaran ke Paris, tapi siapa yang mengira kalau
seorang pemuda berumur 20 tahun yang bahkan belum pernah mencicipi atmosfer
liga kelas wahid di negaranya, bakal ditawari untuk hijrah ke luar negeri dan —
lebih mencengangkan lagi — dibanderol €12M?
Tentu saja Napoli dan Juventus
mundur teratur ketika mendengar Verratti sudah dibanderol €12M oleh
PSG. Lebih-lebih, urusan transfer Juventus di-handle oleh Beppe Marotta. Sedari
dulu, ia memang terbiasa menangani urusan transfer klub dengan keuangan yang biasa-biasa
saja (Venezia, Atalanta, Sampdoria) baginya sangat pantang untuk berjudi mengeluarkan
uang jumlah besardemi pemain yang belum teruji betul kualitasnya. “Kalau bisa gratis, kenapa harus membayar”
adalah salah satu prinsip yang ia pegang teguh, bahkan sampai ia menangani
Juventus saat ini. Sebagai perbandingan, dana yang digelontorkan PSG untuk
membeli Marco Verratti lebih mahal dibandingkan harga pembelian ke-empat pemain
kunci Juventus: Arturo Vidal (€10.5M), Andrea Barzagli (€500K), Andrea Pirlo
(Free). dan Paul Pogba (Free).Overrated
and overpriced, eh?
************
Verratti pun hijrah ke Paris.
Keputusan yang disayangkan oleh banyak pihak di Italia ini, juga diikuti oleh
beberapa keraguan. Sebagai contoh, di awal musim saat Ancelotti menerapkan skema
4-3-3, banyak yang mempertanyakan dimana Verratti akan bermain?Skill terbaiknya sebagai pemain poros,
diragukan tidak akan muncul ketika ia ditempatkan dalam skema seperti ini,
lebih-lebih jika ia ditempatkan melebar.
Pada skema 4-3-3, Veratti jarang
menempati posisi utama. Terhitung ia hanya dipasang sebagai starter sebanyak
3x, saat PSG mengawali laga dengan formasi ini. Posisinya terlalu jauh didapuk
di depan. Verratti sendiri padahal pernah berkata “Saya nyaman berada di depan daerah pertahanan. Saya bisa dengan lebih
leluasa melihat ruang dan memberikan supplai bola kepada pemain lain. Saya
rasa, daerah itu — turun ke dalam, sebelum garis tengah lapangan — titik
maksimal posisi saya.Saya kurang cepat dan tak sanggup untuk naik lebih ke
depan.” Dari 7x bermain menggunakan skema seperti ini, PSG mencatat hasil
yang kurang bagus; 3x menang, 3x seri, dan 1x kalah.
Tapi Ancelotti bukanlah pelatih
kemarin sore yang baru saja lulus kursus kepelatihan sepakbola, dia adalah
seorang jenius yang tahu benar bagaimana caranya untuk memaksimalkan potensi
yang ada di dalam timnya.
Pasca menorehkan hasil buruk dengan
skema 4-3-3, PSG lantas bermain dengan skema 4-1-2-1-2. Don Carlo nampaknya
jelas melihat Veratti tidak nyaman bermain sebagai central midfielder. Ditempatkanlah ia sebagai deep-lying-playmaker dengan Chantome dan Matuidi sebagai
‘pelindung’-nya. Perubahan gaya bermain ini membawa hasil yang sedikit lebih bagi
PSG. Verratti pun mampu bermain sebagaimana mestinya. Satu-satunya problem di
skema permainan ini adalah: Javier Pastore nampak tidak terlalu nyetel dipasang
sebagai Trequartista di belakang Ibra
dan J.Menez. Linking-up-play antara
Pastore – Ibra – Menez tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Di bursa transfer musim dingin, PSG
mendatangkan (another-overrated-overpricred)
wonderkid yang berasal dari Sao Paolo
Brazil: Lucas Moura. PSG yang sedang bertransisi formasi — dari 4-1-2-1-2 ke
4-2-2-2 — tentu mendapat amunisi tambahan yang cocok dengan apa yang sedang
mereka butuhkan. Hal ini tentu membuat sang manajer sumringah. Saya
membayangkan, raut wajah gembira Ancelotti kurang lebih sama seperti ekspresi bocah
umur 9 tahun yang akhirnya mendapatkan kartu ekstra-langka: Mew, sebagai
pelengkap dan penutup koleksi 150 kartu Pokemon yang sudah ia kumpulkan dengan
susah payah.Mulai dari sini, Verratti mulai menunjukkan alasan kenapa ia bisa
menyandang gelar “The Next Pirlo”.
Dua pemain di depan 4 pemain bertahan — atau yang biasa disebut double pivot — sama-sama bertugas untuk mensupport defense. Tapi masing-masing dari mereka, juga mengemban amanah tersendiri dari pelatih: satu pemain lebih terfokus untuk mengacaukan arus serangan lawan, satu pemain lagi ditugaskan untuk mendistribusikan bola kepada lini depan. Di PSG, tugas ini dijalankan dengan baik oleh duet Verratti dan Matuidi.
Matuidi adalah salah satu kunci
kenapa Verratti bisa bermain dengan aman. Kemampuan holding ball dan juga intercept-nya,
ditambah dengan kemampuan tackle-nya
yang di atas rata-rata. Ia adalah pemilik rataan tackle per match terbanyak di PSG, dengan total 123 tackle, atau
rata-rata 3,3 tackle per match. Total
intercept-nya pun tertinggi di PSG,
dengan total 131 intercepts, atau 3,5
intercept per match, bahkan jauh di
atas centre-back terbaik mereka,
Thiago Silva. Matuidi juga berperan baik menjadi physical link bagi Veratti.
Sedangkan Verratti sendiri, berada
lebih dekat dengan back-four dan juga
berkonsentrasi untuk mendistribusikan bola ke depan sembari melihat ruang untuk
kemudian melepaskan passing jarak jauh. Suplai bola ke Pastore/Moura juga
sangat bergantung dari pergerakan bocah yang bagai Chicarito dibelah dua ini.Inilah
salah satu keuntungan — yang juga bisa jadi kerugian — bagi tim yang menerapkan
skema “4
midfielders in a ‘square’ formation”: Arus serangan, sangat bergantung dari pergerakan 4
pemain ini; lebih-lebih pada salah satu dari mereka yang memang ditugaskan
untuk mendistribusikan bola ke berbagai lini.
Skema
4-2-2-2 juga selalu menuntut seorang pemain depan untuk tidak hanya menjadi
seorang penyerang, tapi juga menjadi pemain yang mampu beradaptasi dengan attacking midfielder yang seringkali
berubah-ubah menjadi winger. Karena
jika tidak, akan begitu nampak ‘lubang’ di antara 6 pemain bertahan dan 4
pemain menyerang, lebih-lebih jika para pemain tipikal penyerang ini enggan
turun untuk membantu lini pertahanan. Beruntung, Lavezzi dan Ibra adalah pemain
yang tidak keberatan untuk wara-wiri
turun ke lebih dalam, hanya untuk mempersempit ruang gerak pemain lawan di
daerah pertahanan, sembari berusaha untuk ‘jemput bola’.
************
Di
perhelatan Euro U-21, semua mata pasti tertuju pada talenta-talenta muda yang
digadang-gadang akan menjadi pemain besar dunia. Tidak terkecuali pada Marco
Verratti. Di skuat Italia, namanya cenderung lebih mentereng dibandingkan
pemain-pemain lain. Sekalipun Italia U21 punya deretan nama yang tidak kalah
tenar, seperti Insigne, Destro, Marrone, Borini, dsb.Lagi-lagi, julukan “The Next Andrea Pirlo”juga menjadi
alasan kenapa banyak orang menaruh perhatian pada pemain yang satu ini. Publik ingin
melihat, bagaimana aksi dan “kadar-kemiripan-gaya-bermain-ala-Pirlo” yang
dimiliki oleh Verratti. Ekspektasi publik Italia dan pecinta sepakbola, tentu melambung
tinggi.
Di awal
laga melawan Inggris — sekalipun Italia hanya unggul 1-0 lewat eksekusi bola
mati — Verratti tampil tidak mengecewakan.Meski pergerakannya selalu diganggu
dan dibayangi oleh Shelvey, tugasnya untuk
mendistribusikan bola ke berbagai lini tetap mampu ia lakoni dengan apik. Successful passes Verratti mencapai
angka 121. Bandingkan dengan pengumpan terbaik Inggris, Henderson: 44 (yah,
namanya juga timnas Inggris).Hanya sayang, lini-depan
Italia tampil kurang menggigit malam itu. Borini nampaknya lupa, saat itu ia
bermain dan berseragam untuk Gli Azzuri, bukan untuk Liverpool.Jadi, tak perlu
ia menyesuaikan diri dengan sering membuang peluang dan bermain serampangan.
Pun demikian saat bermain melawan Israel. Bukan hanya berperan jadi distributor
bola, ia juga ikut turun membantu 2 centre back di belakangnya, untuk kemudian
mempersilakan fullback naik membangun
serangan.
PSG dan Italia U-21, tentu masih jauh dari gaya bermain
Verratti-sentris, seperti pengaruh seniornya Andrea Pirlo ketika bermain di
Juventus maupun Italia senior. Namun, ada beberapa tugas yang diemban Pirlo,
juga mampu dikerjakan dengan baik oleh Verratti. Baik dari gaya bermain, visi,
akurasi passing, kemampuan untuk turun
membantu daerah pertahanan. Tapi, ada beberapa aspek selain jenggot dan
pengalaman bermain milik Pirlo, yang tidak dimiliki Verratti: kemampuan membuat
peluang. Karena memang lebih sering berkutat dengan daerah pertahanan, chance rate milik Verratti hanya 15;
bandingkan dengan rataan milik Pirlo, 74. Sekalipun nampak seperti orang yang
lari-lari santai keliling komplek, Pirlo memang memiliki kemampuan yang sama
baiknya ketika membaca serangan dan membangun serangan. Aspek nomer 2 inilah,
yang belum begitu menonjol dalam diri Verratti. In case, jika memang dia “disamakan” dengan Andrea Pirlo.
Belakangan ia bilang bahwa ia mengidolakan Andrea Pirlo,
tak lebih dari ia mengidolakan David Pizarro. Verratti kagum akan kemampuan
playmaker Fiorentina asal Chili itu, yang sangat sulit kehilangan bola,
sekalipun berada dalam kepungan lawan. Beberapa jurnalis sepakbola di Italia,
bahkan lebih dulu mengatakan bahwa gaya bermainnya di Pescara cenderung lebih
seperti Pizarro: lebih nyaman berada di depan back-four; sangat sering turun ke daerah pertahanan, sembari
melakukan tackle dan mengambil boladengan cara yang sangat
‘rawan-kartu-kuning’. Tapi selain itu, ia juga adalah sosok diminutive
deep-lying playmaker yang diberkahi dengan visi bermain dan kemampuan passing
yang luar biasa. Mungkin kemampuan inilah, yang membuatnya lebih disamakan
dengan dengan sang maestro— pemain yang belum tentu ada dalam 1 dekade sekali —
Andrea Pirlo. Karena di Italia, akan lebih mudah menemukan pemain yang memiliki
gaya bermain seperti Pizarro, dibanding menemukan pemain yang memiliki gaya
bermain seperti Pirlo. Saya merasa, statement
yang keluar dari mulut Verrati itu hanya bentuk ketidaknyamannya akan pelabelan
sejumlah media. Sehingga ia berusaha
melepaskan “jerat Pirlo” yang ada di dalam dirinya, dengan menjadikan Pizarro
sebagai perantaranya.
Saya sendiri bukan tipikal penikmat bola yang gemar
melabeli talenta muda/pemain berbakat dengan titel “The Next”, sekalipun ada
beberapa pemain yang gaya bermainnya mengingatkan saya dengan sejumlah pemain
hebat. Melabeli mereka dengan titel seperti itu, buat saya hanya akan membatasi
karir dan pencapaian empunya titel seakan-akan tidak bisa melampaui karir sang
pemain yang dijadikan contoh. Iya kalau mereka memang jadi pemain hebat,
bagaimana kalau nasib mereka seperti para pemain yang berlabel “The Next Pele”, ha? Bukankah hal itu
hanya akan menjadi bahan lelucon dan materi segar untuk dibuat meme di akun-akun parodi sepakbola?
Jadi, marilah kita sedikit mencoba mengerti Marco Verratti.
Biarkan ia bermain sebagaimana mestinya, dan jangan memberi beban ekspektasi
yang terlalu berlebihan hanya karena ia memiliki gaya bermain dengan pemain
lain. Toh bagaimanapun, ia adalah pemuda berumur 20 tahun yang baru saja
rampung bermain di Serie-B, dan mendadak “dibajak” oleh klub kaya negeri
seberang dengan harga yang tidak masuk akal untuk pemain seusianya. Asal tidak
sering-sering menerima ajakan John Terry untuk keluar malam, perjalanan dan
perkembangan karirnya tentu masih bisa berkembang pesat.
Yes , he is
overrated& overpriced, but doesn’t mean he’s untalented. Just give the kid
some damn time.