Ill Capitano |
Di dunia ini, tak ada yang abadi.
Dominasi pasukan Catalan, puasa
gelar Robin van Persie, bahkan sampai pesona kecantikan Nadya Hutagalung yang
dianggap imortal, pada waktunya nanti juga akan menemui masa kadaluarsa. Akan
selalu tiba masa, dimana apapun yang sudah diklaim sebagai “paten” dan “pasti” akan
mengalami peralihan. Satu-satunya yang pasti dari kepastian sendiri adalah
ketidakpastian. Tidak hanya berlaku di jagad sepakbola, tapi juga berlaku di
segala aspek kehidupan.
Tapi, bukan karena tak ada yang
abadi, bukan berarti tidak ada yang tidak bertahan lama.
Romantisme Arsenal – Wenger – dan
banner “In Arsene We Trust”, sorotan
kamera ke arah Fergie dengan permen karet dan pipi merahnya di bench United, optimisme fans Liverpool
dengan “musim depan EPL akan jadi milik
kami’-nya yang terkenal itu, betahnya klub-klub Serie-A numpang di stadion
milik pemerintah, masa kelam sepakbola Indonesia, ukuran botol Yakult, adalah
salah satu dari sekian banyak hal di dunia ini yang — mungkin tidak akan
bersifat — abadi, namun pada
kenyataannya sudah bertahan sekian lama. Bertahan pada sebuah paten, agar tetap
berada pada koridor kepastian, adalah salah satu cara menghindari
ketidakpastian; sekalipun nanti akan tiba masa dimana “paten” itu akan
mengalami peralihan. Di jagad sepakbola, hal yang demikian adalah sesuatu yang
lumrah.
Tapi nampaknya, ideologi Conte
adalah sebuah anomali. Baginya, skema permainan Juventus tidak ubahnya gaya
rambut Mitha The Virgin: selalu berubah-ubah di setiap kesempatan. Berikut
beberapa skema permainan yang pernah Conte rancang selama 2 musim menukangi
Juventus.
4-2-4: Flank, flank,
flank.
Mengawali musim perdananya di
Turin dengan skema all-out-attack 4-2-4, Conte masih sedikit mewarisi kebiasaan
jaman Jahilliyah Juve era Del Neri – Secco, dengan fokus serangan lewat flank. Memang, kala itu tak ada lagi
teriakan “MILOOOOOOOS!” khas Del Neri dari pinggir lapangan, untuk meminta
Krasic menyusuri sisi kanan lapangan sembari berlari dengan kondisi NOS yang
ada di kedua kakinya menyala. Conte tidak begitu suka dengan gaya bermain Krasic.
Bagi Conte, pemain dengan tipikal ngotot dan grinta yang kental, selalu lebih
baik dibanding pemain yang punya keunggulan skill di bidang tertentu: Krasic,
Giaccherini, Elia – tipikal speed
merchant, selalu kalah dibandingkan dengan Pepe, Estigarribia, atau bahkan
Padoin. Sesuatu yang tentu sangat tidak lazim di formasi PES.
Di 4-2-4 milik Conte 11/12, ada
beberapa hal yang menjadi sorotan saya. Di antaranya:
(-) Chiellini bermain bukan pada
posisi aslinya, centreback, tapi dia
ditempatkan sebagai fullback di sisi
kiri. Hal ini sungguh disayangkan, mengingat menempatkan seorang CB murni
menjadi fullback berarti harus mampu menyelaraskan
antara menyerang dan bertahan. Chiellini sangat baik ketika ditempatkan di opsi
kedua, namun tidak sebaik Ashley Cole ketika ditanya perihal opsi pertama.
(-) Bonucci tampil selayaknya
medioker yang selalu gugup di setiap laga. Bersama Barzagli, dia menjadi duet
centreback yang mengawal lini pertahanan Juventus paruh musim 11/12. Sepanjang
musim 10/11, dia adalah salah satu alasan kenapa lini pertahanan Juventus
nampak seperti pesakitan. Entah sudah berapa kali gaya ‘sekali-tebas-buang’-nya
jadi malapetaka buat Buffon. Hanya Barzagli yang nampak tidak kesulitan dengan
skema 4-2-4 ini. Tapi tidak dengan Bonucci. Saya seringkali berharap, Bonucci
diculik seseorang dan ditempatkan dalam bunker setiap kali Juventus main dengan
skema ini. Orang Jawa bilang, dia tampil hayub-hayuben.
(-) M-V-P (Marchisio, Vidal,
Pirlo) tidak tampil sebagaimana mestinya. Sayang sekali dalam skema ini, salah
satu dari Marchisio atau Vidal pasti jadi ‘korban’. Pirlo diplot berada central midfield bergantian dengan salah
satu di antara Marchisio atau Vidal. Mengingat bagaimana ketiga manusia ini
bekerjasama dengan sangat apik saat dimainkan bersama, 4-2-4 ini menjadi
semacam kesia-siaan talenta yang ada di lini tengah.
(-) Konsistensi sungguh tidak
akrab dengan flank kiri Juventus di
skema ini. Chiellini yang bermain sebagai LB untuk menopang Estigarribia/De
Ceglie di depan, jadi salah satu titik lemah Juventus di 4-2-4. Sebagaimana penggemar Maicih lvl.10
saat disuguhi Mie Instant dengan embel-embel “selera pedas”, gregetnya pasti
kurang dan tidak berasa. Kira-kira seperti itu gambaran sisi kiri Juventus
dalam skema 4-2-4.
(-) Sulit bagi fullback sekelas Lichtsteiner untuk
overlap ke depan, ketika winger
seperti Pepe sudah mendapatkan ruang lebih banyak. Agresivitas sisi kanan Juve
berkurang, karena seperti yang kita ketahui bersama Lichtsteiner is a monster. Determinasinya menyusuri
sisi kanan, baik ketika bertahan dan menyerang sama baiknya. Skema ini sulit
membuat ke-khasan Licht itu nampak.
(+) Bisa menyaksikan penggunaan
dua midfielder di tengah, yang sudah sangat
jarang diterapkan pelatih modern. Pirlo era Milan sukses melakoni posisi ini,
karena dia ditopang oleh seorang
‘so-called-gelandang-pengangkut-air’ semacam Gattuso yang terus menerus
berlari dan mengcover sektor yang ditinggal Pirlo (kita tahu, melihat Pirlo
berlari kencang kesana kemari merupakan salah satu keajaiban dunia yang belum tentu kejadian
dalam 10 tahun sekali). Di Juventus, tugas ini dicover dengan baik oleh
Marchisio/Vidal. Sama-sama seorang petarung, dengan usia yang lebih muda. Di
akademi Juventus, Il Principino
ditempatkan sebagai trequartista, dan
sangat jauh dari tipikal holding player.
Maka dari itu, sekalipun skema ini menjadi menarik karena sudah jarang
digunakan, hal ini menjadi sia-sia jika mengingat Juventus punya Vidal. Juve
akan selalu butuh midfielder ke-tiga
selama Conte masih ada di Juventus.
(+) Bagaimana lini tengah
Juventus bisa mengcover ruang yang diciptakan lawan. Pertengahan 2007, Wenger
pernah bilang: “Dengan menempatkan 4
gelandang di lini tengah — merujuk ke 4-4-2 miliknya pada waktu itu — efisiensi covering space sebuah tim bisa
mencapai angka 60%”. Memang secara kasat mata, 4-2-4 praktis hanya menyisakan
dua midfielder sebagai penguasa lini
tengah, dan dua winger sisanya
berkonsentrasi bermain di flank.
Namun jangan salah, Estigarribia/De Ceglie dan Pepe justru menjadi sosok yang
pemain yang paling bisa menguasai ruang di skema ini. Masih ingat jelas dalam
ingatan saya ketika Juventus melakukan comeback
setelah tertinggal 2-0 dari Napoli, kemudian menjadi 3-3. Pemain kunci pada
waktu itu adalah Pepe. Ia selalu bisa menemukan ruang, di saat Pirlo dan Vidal
‘melindungi’ dia dan memberikan kebebasan kepadanya untuk maju ke depan
(+) Sangat efisien sebagai
peralihan, ketika jumpa tim dengan skema serupa dengan stamina yang lebih
buruk. Sekali lagi, 3-3 saat melawan Napoli 11/12 adalah representasi sempurna
dari efektivitas skema permainan ini. Paruh babak pertama, Juve berusaha
melakukan mirroring skema permainan
Napoli. Sama-sama menggunakan 3-5-2 (Napoli 11/12 cenderung ke 3-4-1-2, dengan
Hamsik berada di belakang Lavezzi dan Cavani. Namun secara garis besar, hampir
sama pola permainannya sama dengan 3-5-2 milik Juventus. Hamsik seringkali
fleksibel ditempatkan sebagai attacking
midfielder, atau dalam beberapa kasus menjadi central midfielder) di babak pertama. Hasilnya, Maggio benar-benar
jadi malapetaka malam itu. Estigarribia yang diplot untuk mengisi flank kiri,
‘diperkosa’ secara biadab oleh Maggio. Kemampuan bertahan miliknya memang tak
sebaik ketika menyerang. Wajar, mengingat Esti adalah tipikal sayap murni. Walhasil,
2 gol Napoli berasal dari sisi kiri Juventus. Pirlo juga dengan baik
‘dimatikan’ oleh Hamsik, supplai bola ke depan benar-benar mandeg. Jadilah babak pertama Juventus seperti hati anak kecil yang
balon hijaunya meletus: sangat kacau.
Namun di babak kedua, kejeniusan
Conte untuk mengubah skema 3-5-2 menjadi 4-2-4 sungguh membuahkan hasil.
Chiellini yang tadinya diplot jadi centreback
ditarik ke kiri untuk jadi fullback,
Lichtsteiner juga ditarik mundur untuk kembali jadi fullback, Bonucci dan Barzagli diplot jadi centreback, Sisi kanan ditempati Pepe, kiri masih menjadi milik
Estigarribia. Namun yang membedakan adalah: Pepe dan Esti sama-sama ditarik ke
depan untuk menjadi sayap murni. Urusan pertahanan biar menjadi urusan Chiello
dan Lichtsteiner Pirlo dan Vidal ditugaskan untuk mengcover lini tengah. Namun
ini yang membedakan dengan skema babak pertama: Estigarribia berada di zona
nyamannya, posisinya lebih maju ke depan dan ditugaskan Conte untuk memberikan pressing pada Maggio sehingga ia
benar-benar harus ditarik ke belakang oleh Mazzari. Terbukti, 3 gol balasan
Juventus berasal dari pergerakan sektor kiri. Sekali lagi, melihat bagaimana
Conte memilih untuk ‘menyerang’ Maggio alih-alih harus memperkuat lini pertahanan
dari serangan sayapnya adalah sebuah kejeniusan.
4-1-4-1: Demi Vidal
4-2-4 adalah bentuk kesia-siaan
lini tengah Juventus. Memiliki Marchisio, Vidal dan Pirlo dalam satu komposisi,
namun lebih memilih untuk merotasi salah satu dari mereka dengan alasan
kecocokan skema permainan adalah hal yang konyol bagi saya. Dengan kemudian
memilihi 4-1-4-1, saya melihat bagaimana Conte ingin memaksimalkan talenta yang
ada di dalam timnya. Pirlo sebagai regista,
sedangkan Marchisio/Vidal sebagai mezalla.
Tugas Marchisio/Vidal yang bergantian menemani Pirlo di skema 4-2-4 memiliki
keunggulan dan kelemahan masing-masing. Sama-sama ditugaskan untuk ‘melindungi’
Pirlo dari godaan marking lawan yang
terkutuk, Marchisio cenderung lebih
memiliki visi menyerang yang lebih baik dibandingkan Vidal. Sekali lagi,
penempatan dia sebagai trequartista semasa
berada di akademi Juve mau tidak mau mempengaruhi gaya bermainnya sampai
sekarang. Mewarisi kekhasan pemain nomer 8 Juventus milik pendahulunya — Conte
salah satunya — yang memiliki grinta kental,
Marchisio mempadupadankannya dengan tipikal pemain petarung yang ada di dalam
dirinya. Sedangkan Vidal sendiri, adalah jawaban atas kekurangan Marchisio:
kemampuan untuk holding ball. Vidal
didapuk untuk melakukan ‘tugas-kasar’ milik lini tengah Juve: tackle, intercept, skill box-to-box, pressing
semua dilakukan Vidal dengan baik. Namun sayang, seringkali visi menyerangnya
tidak sebaik Il Principino. Musim
11/12 untuk urusan mencetak gol, nama Marchisio lebih sering muncul di papan
skor ketimbang Vidal (9 banding 7). Dan ketika akal sehat Conte menuntun
dirinya ke jalan yang benar dengan menempatkan mereka berdua dalam satu
kesempatan untuk menemani Pirlo, saya merasa bahwa berkah dari Tuhan itu memang
benar adanya. Pirlo diplot sebagai deep-lying
“creative” central midfielder, Marchisio sebagai attacking midfielder, dan Vidal sebagai defensive midfielder. Sungguh, padu padan yang pas.
4-1-4-1 diformat untuk menyenangkan
Pirlo. Pirlo dibiarkan untuk bersabar dan duduk tenang, sementara Marchisio dan
Vidal diplot untuk bekerja dan meng-cover
area Pirlo, sembari terus memberi ruang bagi Pirlo untuk bekerja di dalamnya.
Alur serangan benar-benar dimulai dari tingkatan yang paling dalam. Tidak heran,
suplai bola ke depan seringkali berupa long-pass
dari Bonucci, atau dari Pirlo. Hanya berkisar dari itu.
Tapi formasi ini bukan tanpa
cacat. Ada celah yang begitu menganga di antara Chiellini dan Vucinic.
Mengingat sektor kiri yang ditempati Marchisio tidak begitu baik dalam bertahan
— untuk mengcover area kerja Pirlo
saja buat saya sudah cukup berat —, maka tidak heran celah ini seringkali
dimanfaatkan oleh lawan. Pemain dengan tipikal penjelajah seperti Robben dan
Ribery akan sangat senang dengan celah seperti ini. Beruntung, klub-klub
Serie-A tidak cukup memiliki tipikal stok pemain seperti mereka berdua. Maka
tidak heran, kalau formasi seperti terhitung cukup aman jika dimainkan di liga.
Entah kenapa saya juga tidak suka
dengan penempatan Vucinic di belakang lone
frontman, Matri. Menurut hemat saya, Vucinic bukan seorang energetic runners yang bersedia untuk
menyusuri areanya sembari memberikan suplai bola secara konsisten ke depan.
Vucinic adalah seorang ‘papan pantul’ bagi siapapun yang ada di dekatnya. Ia
lebih jemput bola, untuk kemudian berlama-lama menahan bola sambil menunggu
bantuan dari lini kedua. Di posisi
paling pucuk, saya melihat Matri malah cocok dengan skema permainan seperti
ini. Sekalipun ia bukan tipikal targetman
yang sebegitu menyeramkan seperti Cavani, diposisikan sebagai striker murni
yang memang membuatnya nyaman tentu saja membuat perbedaan dalam skema
permainan. Matri sejatinya adalah seorang poacher.
Penyempurnaan dari skema ini adalah pemain tipikal
classic number 9 seperti Trezegol yang memang selama ini jadi incaran
Juventus. Andai Llorente dan Giovinco datang lebih awal, untuk kemudian
menggantikan Matri dan Vucinic untuk bermain dalam skema ini, bukan tidak
mungkin formasi 4-1-4-1 akan bertahan dalam kurun waktu yang lama.
3-5-2: Transformasi
Penyempurnaan
3-5-2 menuntut adanya
keseimbangan dalam bertahan dan menyerang. Yang paling mendasar adalah peran dua wingback yang berada di sisi kanan dan
kiri, mereka dituntut harus bisa memiliki kedua aspek tersebut dengan baik.
Hampir di sepanjang musim 11/12 dan 12/13, Conte sering menjadikan skema ini
sebagai pilihan utama.
Dimulai dengan lini belakang:
trio Barzagli – Bonucci – Chiellini menjadi pakem kekuatan baru lini pertahanan
di Italia, bahkan dunia. Terbukti pada musim 2011/2012, Juve hanya kebobol 20
gol. Catatan terbaik di Eropa. Dan musim ini hingga pekan ke 35, Juventus juga
hanya kebobolan 20 gol. Bonucci tampil
dengan sangat baik ketika Juventus bermain dengan skema seperti ini. Dengan formasi 3 CB, membuat konsentrasi
bertahan benar-benar dibagi rata oleh ketiga pemain ini. Dengan kehadiran Barzagli
dan Chiellini di kanan-kirinya, tentu saja ini menjadi jaminan aman bagi
Bonbon. Bonucci hadir seperti anak bungsu yang jika diganggu oleh anak kecil
nakal yang lebih tua, kemudian mengadu untuk minta perlindungan ke kedua
kakaknya, yaitu Chiellini dan Barzagli. Rataan passing Bonucci juga salah satu
yang terbaik setelah Pirlo. Pokoknya, Bonucci seperti tamiya yang dinamonya
baru saja ditune-up, setelah Juventus
beralih formasi jadi 3-5-2. Mungkin pada periode sebelum ‘90an, posisi Bonucci
ini lebih cocok ditempati oleh seorang sweeper
atau offensive libero, namun ini akan
menjadi sia-sia mengingat Bonucci memiliki seorang deeplying midfielder sekelas Pirlo di depannya. Menjadi seorang stopper untuk mengcover bola saat pertandingan berlangsung, nampak
lebih cocok baginya. Sementara Chiellini dan Barzagli sering naik ke depan
untuk overlap (sering intercept dari kedua pemain ini
berlanjut dengan solo-run ke depan,
untuk kemudian memberi assist kepada
siapapun yang ada di depan mereka untuk kemudian dikonversikan menjadi gol),
Bonucci malah sering menjadi pilar terakhir lini pertahanan Juventus.
Salah satu keunggulan lini
belakang Juventus ketika menerapkan skema seperti ini adalah: sangat efektif
ketika jumpa dengan tim yang menurunkan 2 striker. Barzagli dan Chiellini akan
ditugaskan untuk me-marking mereka, sementara Bonucci akan menghentikan arus
serangan dari lini keduanya. Namun, seringkali trio B-B-C ini dibuat
kebingungan ketika jumpa dengan tim yang mendapuk 1 pemain di lini paling
depan. Pembagian jatah marking dan
konsentrasi penghentian bola seringkali terpecah jika mereka menghadapi situasi
demikian. Akibatnya, gol justru lebih sering muncul dari lini kedua. Contoh
paling nyata, mungkin ketika mereka harus berhadapan dengan hanya seorang
Mandzukic di perempatfinal UCL, dan harus menghadapi Fabregas seorang di lini
paling depan, di final Euro 2012. Dan kita tahu sendiri hasil akhirnya seperti
apa.
Maju ke tengah. Kita bisa melihat
kunci keberhasilan permainan skema 3-5-2 ada di wingback. Sebagai contoh: Brazil menjuarai World Cup 2002. Dengan
formasi seperti ini. Lucio – Edmilson – Juan begitu kokoh di lini pertahanan,
sementara Cafu dan Roberto Carlos bergantian membombardir dari sisi kanan dan
kiri. Pun saat bertahan, kedua pemain ini sama baiknya.
2011/2012, peran ini bergantian
diperankan oleh Estigarribia/De Ceglie dan Lichtsteiner. Musim 2012/2013,
pernah pos flank kiri diisi oleh
Kwadwo Asamoah. Duet Asamoah – Lichsteiner
tentu saja adalah versi upgrade dari De Ceglie – Licht. Asamoah yang sebetulnya
bermain sebagai CM di Udinese, tampak tidak canggung saat bermain sebagai LWB.
Saat menyerang, kemampuan box-to-box
Asamoah tidak perlu diragukan lagi. Saat bertahan, dia juga mampu menutup dan
menjembatani celah yang sering terjadi dibuat Vucinic – Chiellini. Sekalipun ia
belum menemui performa terbaiknya pasca AFCON kemarin, Asamoah adalah opsi
terbaik untuk menempati posisi LWB Juventus. Untuk RWB, saya no comment. Lichtsteiner
adalah seorang monster. Bagi saya, performa The
Swiss Train selama ini luar biasa. Tidak melulu menakjubkan, tapi
konsisten.
Madrid punya Makelele Role, sedangkan bagi saya dua tahun belakangan ini
Juventus punya Pirlo Role. Sebuah
skema dimana gaya bermain dan arus bola ke berbagai lini sangat bergantung pada
sosok Andrea Pirlo. Saat melakukan perjanjian terlarang dengan Jin Ifrit, Pirlo
tidak membaca terms of agreement yang
tertulis: kamu akan selalu bermain baik,
dengan syarat harus menumbalkan dua pemain untuk bekerja keras dan mati-matian
melindungimu serta memberimu ruang bermain untuk berkreativitas. Di Milan,
Pirlo menumbalkan Gattuso dan Ambrosini. Di Juventus, Marchisio dan Vidal. Di
Italia, Marchisio dan De Rossi. Hasilnya, Pirlo bertanggung jawab atas
statistiknya di Juventus selama ini: 2,9
key passes/game, 87% pass success/game,
10.3 accurate long pass/game, 80% rataan passing/game. Hanya Xavi, Xabi Alonso
dan Schweinsteiger yang mampu mendekati capaian statistik angka tadi.
Vidal dan Marchisio juga berperan
penting selain sebagai ‘ tumbal’ untuk kecemerlangan permainan Pirlo: physical play dan kemampuan box-to-box untuk melayani dua striker
yang ada di depan. Ini adalah versi sempurna dari 4-1-4-1 yang memungkinkan M-V-P
main secara bersamaan. Penjabaran
kelebihan mereka berdua sudah tercantum di bahasan sebelumnya.
Untuk lini depan, Juventus masih
cenderung labil Coba lihat rotasi duet
striker yang Conte miliki (statistik diambil sampai dengan laga Juventus –
Bayern) saat menerapkan strategi 3-5-2:
- Vucinic dan Giovinco – 14 kali
- Matri dan Giovinco – 7 kali
- Quagliarella dan Giovinco – 6 kali
- Matri dan Vucinic – 6 kali
- Vucinic dan Quagaliarella – 4 kali
- Matri dan Quaglirella - 2 kali
Saat Vucinic dan Giovinco
bermain, praktis Conte tidak memasang seorang CF. Vucinic dan Giovinco adalah
tipikal seconda punta. Entah
kebanyakan orang menyebutnya false-nine
atau bagaimana, yang jelas ini adalah duet terbaik Juventus menurut hemat saya.
Vucinic dan Giovinco adalah tipikal pemain yang gemar berlama-lama menahan bola
sambil mencari ruang untuk rekan setimnya. Gol akan datang dari mana saja
ketika dua orang ini bermain secara bersamaan. Umpan-umpan pendek terlihat
sangat mendominasi. Dalam beberapa kali kesempatan, Vidal/Marchisio sangat gemar
mencetak gol yang berawal dari pergerakan Mirko dan Seba. Jumlah gol mereka
memang tidak mencapai 2 digit, hanya 9 dan 6. Tapi mereka berkontribusi banyak
dengan menyumbang sejumlah assist. Sejauh ini, jumlah assist mereka masing-masing (6) hanya kalah oleh Vidal (7). Memang yang dibutuhkan Conte adalah tipikal dynamic forward yang ditugaskan untuk
mempersempit jarak dan harus mampu bersinergi dengan dua wingback yang ada di belakang mereka. Selain itu, yang tidak kalah
pentingnya mereka harus mampu menyuguhkan linking-up
play untuk lini tengah. Sejauh ini, tugas itu mampu diemban dengan baik oleh
Vucinic.
Untuk alasan itulah, kenapa Matri
nampak tidak cocok dengan skema seperti ini. Matri bukan tipikal pemain yang
mau ‘ngoyo’ untuk mendapatkan bola
dan mengemban tugas linking-up play
dengan lini tengah. Ia adalah seorang targetman.
Menarik, menanti perubahan formasi seperti apalagi yang akan Conte buat jika
Llorente sudah bergabung dengan tim.
3-5-1-1: A Brilliant
Player With a Bright Future. Pog, Pog, Pogba!
Kesimpulan dari transformasi
skema permainan Juventus selama ini adalah: Conte selalu mencari solusi untuk
memaksimalkan potensi pemain yang dia miliki.
4-2-4: memaksimalkan
Pepe
4-1-4-1:
memaksimalkan Vidal
3-5-2: memaksimalkan
M-V-P, mengeluarkan roh jahat yang selama ini bersemayam di tubuh Bonucci,
menjadikan Lichtsteiner
seorang monster.
Pun dengan 3-5-1-1.
Juventus musim ini kedatangan
sebuah bocah ajaib yang bernama Paul Pogba. Kedatangannya yang bersifat free
transfer dari Manchester United ini, sedikit banyak mempengaruhi gaya bermain
Juventus. Pada awal musim, Pogba diplot sebagai pelapis M-V-P. jika salah satu
dari mereka absen, nama Pogba akan mencuat terlebih dahulu sebagai
penggantinya. Yang mencengangkan adalah, pemain yang baru saja genap berusia 20
tahun ini justru tampil di luar ekspektasi.
Setiap kali dia dipasang, ia nampak
seperti kerasukan Vieira dan Deschamps dalam satu kesempatan. Pernah, Edgar
Davids dan Paul Scholes juga mencoba masuk ke raga anak ini saat Juventus
melakoni pertandingan melawan Udinese. Walhasil, dua tendangan keras dari luar
kotak pinalti berhasil bersarang ke gawang Padelli malam itu.
Namun bicara soal Pogba, bukan
hanya bicara soal tendangan kencangnya saja. Pada awal kedatangannya, potongan
rambutnya memang seakan ingin bersaing dengan potongan rambut ala ‘kabel-charger-
Blackberry-yang-tertinggal’ milik Rodrigo Palacio dalam hal perebutan Rambut Norak
Awards. Namun saya berulang kali mengucap syukur ketika mengetahui ia
memutuskan untuk bercukur dan menyemir sisa rambutnya dengan cat hitam.
Nominasi ini tinggal menyisakan Boateng dan Palacio sebagai pesertanya.
Namun lebih dari itu, Pogba
adalah seorang Pogboss. Ketika ia bermain, dia seringkali terus berlari
seakan-akan pemain tidak ada pemain yang menjaganya. Posturnya yang tinggi dan
kakinya yang panjang, juga membuat dia memiliki jangkauan area bola yang lebih
luas. Seringkali melakukan intercept-intercept
penting. Aerial duel won per game-nya
mencapai 2,3. Tertinggi kedua setelah Chiellini. Sejauh ini sudah berhasil
membuat 48 dribble, hanya kalah dari
Asamoah yang membuat 59 dribble.
Wajar, mengingat Pogba lebih jarang bermain dibandingkan Asamoah. Namun menjadi
luar biasa, mengingat usianya yang baru 20 tahun dan ini adalah musim
pertamanya Di Juventus.
Untuk itulah, Conte tidak ingin
menyia-nyiakan talenta yang ada di dalam skuatnya. Ia memilih untuk merombak
skema permainan tim demi menempatkan Pogba, tanpa harus mengorbankan pemain
terbaiknya. Pogba diplot menggantikan posisi Marchisio sebagai CM. Sedangkan Marchisio
kembali menjadi treq, dengan menempati posisi di belakang Vucinic yang seorang
diri berada di depan.
Pada saat Derby Della Mole, Pogba benar-benar menunjukkan kelasnya. Membuat
akurasi passing mencapai 86%, touches sebanyak 59 kali, 5 total shots, 6 tackles dan 2 kali intercept.
He’s a good ball winning midfielder.
Jelas, tidak ada pemain
kesayangan bagi Conte. Egosentrisme taktik yang dia buat, berada di dirinya
sendiri. Bukan Pirlo, Vidal, Pogba, Vucinic atau siapapun yang ada di dalam
tim. Baginya, kesempurnaan dan kolektivitas tim jauh lebih penting dibandingkan
produktivitas gol atau rating pemain. Elia, Krasic, Bendtner adalah contoh:
bahwa nama besar dengan banderol harga mahal bukan jaminan akan mendapat tempat
di Juventus. Sejauh mana sang pemain bisa berkontribusi untuk tim, itu yang
menjadi pertimbangan dia. Bahkan, sekalipun harus mengorbankan rekrutan anyar,
pemain kesayangan publik, pemain kesayangan media, atau pemain kesayangan sang
pemilik klub.
Tidak heran, Buffon dan Pirlo
pernah menyebut bahwa Conte adalah pelatih terbaik yang selama ini pernah melatih
mereka. Mengingat mereka pernah berada di bawah asuhan berbagai pelatih top:
Lippi, Ancelotti, Mr. Trap, Prandelli, maka penghormatan ini adalah bentuk
penghormatan tertinggi untuk Conte.
Seorang kawan yang juga seorang
Milanisti pernah berkata, “Conte terus
berteriak dari pinggir lapangan, seakan-akan dia kalah 3-0 dari lawan.
Sedangkan Allegri hanya duduk diam di bench, seakan-akan dia sudah menang 3-0
dari lawan. Padahal kenyataannya, Milan sedang tertinggal 0 -1 dari Juve.
Pelatihmu itu gila.”
Saya tersenyum.