Jumat, 31 Maret 2017

Narasi Basi Bernama Klaim Pribumi dan Non-Pribumi

Maret tahun ini undur diri dengan cara yang tak elok. Pengujung bulan ketiga kali ini jatuh di hari Jumat, hari penuh keutamaan yang paling diarep-arep oleh PNS plus anak sekolah karena kebanyakan dari mereka hanya masuk setengah hari saja. Sebagian muslim menantikan kedatangan hari ini karena hampir bisa dipastikan mereka bakal menyambangi masjid untuk melaksanakan ibadah shalat Jumat, tapi sebagian sisanya, menanti kedatangan Jumat (31/3) untuk mengikuti aksi 313 yang terkonsentrasi di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.

Saya tak pernah mempersoalkan aksi tersebut, karena menurut saya, sekonyol dan sedungu apapun ide yang dibawa oleh kolektif massa dalam sebuah aksi demonstrasi, yang jelas negara memang memberi ruang dan mempersilakan mereka untuk melakukan itu. Yang penting bagi saya belum tentu penting bagi mereka, vice-versa, jadi kiranya bukan domain saya untuk mempersoalkan jenis aksi yang mereka gelar. Tapi yang jelas, urusan mau ngece atau ngecroi aksi itu jadi lain soal.

Cuma yang bikin saya mangkel, adalah perederan foto yang menjadi viral pada hari ini. Saya melihat beberapa gambar yang menunjukkan aksi sebagian orang sedang memegang stiker bertuliskan ‘pribumi’, di gambar yang lain, ada pula yang terlihat sedang menempelkan stiker tersebut di bagian belakang mobil seseorang. Ada yang berspekulasi bahwa striker tersebut disebar pada pelaksanaan aksi 313, tapi setelah saya melakukan sedikit penelusuran, muncul berita yang menuliskan bahwa persebaran stiker itu dilakukan oleh Forum Syuhada Indonesia (FSI) sehari jelang pilkada DKI putaran I yang dihelat 15 Februari lalu.

Membaca berita tersebut, saya jadi heran dan makin meyakini bahwa ada sebagian orang yang memang tidak hadir waktu Gusti Allah bagi-bagi otak di hari kelahiran umat manusia. Berikut saya kutip langsung ucapan penanggung jawab aksi persebaran stiker ‘pribumi’ yang berlangsung di sebagian daerah di Jakarta itu.

“Kami melihat adanya kemungkinan kerusuhan di Jakarta. Oleh karena itu kami sengaja membagikan stiker ini sebagai antisipasi, kalau-kalau terjadi kerusuhan ‘Anti Cina’ seperti kejadian yang lalu-lalu,” ujar Panglima Forum Syuhada Indonesia (FSI), Diko Nugroha kepada wartawan, Senin (13/1/2017).

Ya Allah, pengen rasane tak kamehameha pas ning ngarep raine.

Mungkin Anda juga merasa geram ketika membaca pernyataan tersebut, karena untuk siapapun yang merasa nalarnya masih jalan, mendengar ada manusia modern menyebut sentimen ‘pribumi’ dan ‘anti-pribumi’ memang menjadi fenomena langka. Di saat umat manusia di negara bagian lain sedang berlomba-lomba unjuk kecerdasan dan inovasi teknologi demi kemaslahatan mereka; di sini, di NKRI tercinta ini, ada manusia yang tidak mengalami proses evolusi dengan sempurna yang menggunakan sentimen primordialisme untuk menyudutkan latar belakang identitas seseorang yang jelas-jelas tidak bisa mereka ubah karena sudah menjadi bawaan sejak lahir. Tak usah berdebat soal definisi ‘pribumi’ menurut KBBI atau pakar ini-itu, karena haqul yaqin definisi ‘pribumi’ yang ditujukan oleh kelompok tersebut adalah golongan penduduk asli secara umum, atau ‘asal bukan orang Cina’ secara khusus.

Saya mau sedikit bercerita tentang alasan kenapa saya berlipat-lipat lebih geram ketika menyimak tulisan yang ada di stiker tersebut. Saya telah menyelesaikan tugas akhir sebanyak 5 bab yang khusus membahas isu kesetaraan sosial bagi etnik Tionghoa dan kaitannya dengan materi standup comedy, jadi ngulik klaim ‘pribumi’ dan ‘anti Cina’ ini sejatinya bukan hal yang baru buat saya. Saat teman-teman saya satu per satu mulai rabi, saya masih sibuk konsultasi; saat teman-teman saya nontoin pameran KPR, saya masih berkutat dengan hasil penelitian; dan yang paling parah, saat masing-masing dari mereka sudah kelon—yang halal—sama istri, saya masih nglomoh tumpukan revisi. (Jadi, harap maklum kalau saya sedikit sentimental sama urusan yang satu ini. Soale menyangkut buah pemikiran final dari masa 7 tahun kuliah je. Seven fucking years, melewati dua kali Piala Dunia dan dua kali Euro.)

Ndakik-ndakik cari contoh kasus diskriminasi rasial di masa lampau dengan tujuan agar bisa jadi pembelajaran di generasi saat ini—juga yang akan datang, lha tau-tau ada corong bensin eceran hidup yang nyebarin stiker kolot dan membuat kita seakan kembali hidup di era Mbah Harto. Kelewatan kalau yang kaya begini tidak mengusik nurani kita sebagai manusia, terlepas dari suku, agama, dan ras yang melekat pada diri kita.

Saya jadi ingat, bahwa sudut memori saya tidak meninggalkan kesan yang baik ketika bicara soal klaim pribumi dan kaitannya dengan era Suharto. Di hari yang paling kelam di sepanjang ’98 itu, saya ingat ada tetangga keturunan Tionghoa yang luar biasa ketakutan hanya sekadar untuk keluar rumah, karena keributan massa di Solo kota sudah mulai pecah. Ada pula tetangga keturunan Tionghoa yang sampai memarkir mobilnya di kantor, kemudian meminjam sepeda dan berganti pakaian biasa milik office boy di kantornya untuk bisa pulang ke rumah—setelah menghindari pusat kericuhan dan nyempil lewat jalan-jalan tikus. Belum lagi tulisan ‘100 persen pribumi’ yang banyak terpampang di pusat pertokoan di sepanjang rute dari rumah saya ke sekolah. Jelas waktu itu saya belum paham maknanya, tapi bertahun-tahun setelahnya, saya akhirnya bisa mengerti bahwa ada ironi mendalam di balik tulisan yang terpampang di pintu-pintu pusat pertokoan tersebut.

Hampir dua dekade berselang, saya kira sentimen seperti itu tidak akan muncul lagi di permukaan—meski sulit pula dipungkiri bahwa diskriminasi rasial di lapisan masyarakat akar rumput masih sering kita jumpai. Lagi pula sejak era Mbah Harto usai, telah diterbitkan Inpres No.26/1998 yang mengatur tentang penghentian penggunaan istilah istilah pribumi-non pribumi di dalam kehidupan sehari-hari. Lha undang-undang sudah jelas melarang, kok ya masih ada yang kekeuh mempertahankan kebanggaan identitas semu macam itu? Situ pribumi apa primata kok susah bener buat dibilangin? Mengutip ucapan pulisi-pulisi lalu lintas yang membuat Mas Eko jadi konslet, “Ono undang-undange Bro.”

Yang berbahaya, diskriminasi rasial seperti ini bisa kembali ‘meledak’ andai tiap kemunculannya ditandai dengan pembiaran dari mereka yang merasa tidak diusik haknya. Narasi kesetaraan hanya akan selalu menjadi wacana andai kelompok-kelompok pemuja primordialisme dibiarkan tumbuh subur bagaikan kemunculan akun peninggi_pelangsing di kolom komentar Instagram milik Raisa.
 
Tapi selain itu, coba dipikir lagi, apakah masuk akal jika kita menaruh kebencian kepada seseorang hanya karena identitas yang dibawa sejak kali pertama memecah tangis di dunia? Jika Anda ingin menghajar seseorang karena dia memiliki latar belakang sebagai seorang Tionghoa, bolehkah saya menempeleng kepala Anda dengan pacul hanya karena situ berwajah kemampleng dan nggateli?

Toh, selama Anda bukan Pithecanthropus Erectus yang menjadi penghuni museum fosil Sangiran, saya rasa Anda tidak berhak untuk menggunakan istilah ‘pribumi’ untuk merujuk sebagai penduduk asli nusantara. Jadi, jika Anda menjumpai siapapun yang hendak mengembalikan narasi pribumi dan non-pribumi untuk muncul ke permukaan, coba dekati dia baik-baik, beri senyum termanis yang Anda punya, coba berbicara mendekati kuping kanannya, kemudian lirih berbisik...

“Konthol.”

Minggu, 12 Maret 2017

Eko Riawanto, Manifestasi Perlawanan yang Menantang Ortodoksi

Setelah merampungkan pekerjaan dan terbebas dari belenggu tenggat waktu, opsi pertama yang saya pilih untuk sejenak membebaskan pikiran adalah membuka media sosial. Saya masih memilih Twitter untuk sekadar membaca apa yang selentas lewat di linimasa, mengecek kolom mention, atau iseng nge-zoom avatar mbakmbak dan dikadik artsy yang telah pensiun jadi Bidadari Timeline dan mencoba peruntungan baru dengan bekal kelakar absurd yang sesekali lucu—meskipun banyak tidaknya. Belakangan ini saya sedikit mengurangi intensitas seliweran di linimasa dan hanya nongol ketika ada pertandingan sepakbola saja, karena lama-lama jenuh juga setiap hari dijejali sajian adu kelahi dan intrik politik sejak isu Pilkada DKI ramai muncul ke permukaan. Saya sebetulnya senang-senang saja jika menyaksikan ada orang beradu argumen di Twitter, karena puas saja rasanya melihat mereka sedang masturbasi ego dalam tajuk ‘bertukar pikiran’ dengan lawan bicara, atau lebih tepatnya saya sebut sebagai lawan nge-tweet? Namun makin hari lingkup bahasan mereka jadi semakin meracau dan terasa tidak penting, apalagi sebetulnya saya tak peduli-peduli amat Jakarta mau jadi seperti apa di kemudian hari. Wong kalau ban motor saya sedang bocor di tengah malam, yang saya minta untuk datang membantu ya tetap saudara dan teman dekat saya, bukan Teman Ahok atau Sahabat Anies.

Karena alasan itulah, Facebook kembali terlihat seksi di mata saya. Pengguna Facebook masih bisa menawarkan hiburan untuk netizen dengan berbagai cara: foto selfie yang disamarkan dengan pose kebersamaan bersama anak, gif yang menguji kombinasi kecepatan jari dan kecermatan mata, keluh kesah yang belum banyak didomplengi niat ingin terlihat ini-itu, umpatan netizen yang merasa tertipu karena gagal melihat air surut ketika menekan angka “1” setelah menyaksikan foto wanita berjarik sedang berendam di air dengan caption “ketik 1 maka air akan surut”, sampai video random yang bikin saya tersenyum simpul sambil berujar “iki jan-jane entuk seko ngendi to ki,” karena kadar kekocakan yang tidak masuk akal. Memang ada satu-dua kawan yang juga menyajikan konten seperti di Twitter, yang sebetulnya membuat saya sejenak ‘selingkuh’ dengan Facebook, tapi kehadirannya tidak sampai tahap menjengkelkan dan membuat muak. Paling hanya membuat saya menekan tombol unfollow alih-alih unfriend, dalam rangka mengurangi potensi drama di kemudian hari.

Kamis (9/3) lalu, saya kembali bersyukur karena masih mainan Facebook. Saya nemu harta karun dalam bentuk 2 video yang beredar di beranda, isinya orang sedang marah-marah karena akan ditilang oleh polisi. Dalam 2 video yang memiliki total durasi 4 menit 58 detik itu, saya benar-benar dibuat takjub karena otak saya rasanya sedang ditelanjangi lewat rangkaian kata-kata yang terlontar dari mulut pria yang ada di video tersebut. Untuk kaum Adam, Anda masih ingat sensasi, maaf, pertama kali menyaksikan pancaran air seni bercabang yang mancur dari Dik Joni persis setelah khitan? Atau untuk kaum Hawa, Anda masih ingat dengan lelaki yang masih bersedia mendengarkan keluh kesah Anda dengan khidmat meski dahulu pernah kalian tinggalkan saat sedang sayang-sayangnya setelah sekian tahun berlalu? Nah, semacam itu reaksi yang pertama kali saya rasakan waktu lihat video yang diunggah Galih Ganira Utomo tersebut. Bikin saya mbatin, “Matane, kok isoh ya? Kok enek ya?”

Namun jujur saja, reaksi tersebut hanya muncul saat pertama kali menyaksikan video yang akhirnya jadi viral itu. Saat saya memutuskan untuk menyaksikannya sampai berkali-kali, saat itu pula saya memahami bahwa sosok lelaki berkopiah putih nanggung yang kemudian dikenali sebagai Eko Riawanto alias Iwan alias Jembut itu menganut prinsip hidup adiluhung yang setara dengan pemikiran para filsuf. Lho, kalian pikir saya bercanda? Ndak, saya ini serius. Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi dengan jenjang tempuh pendidikan mencapai dua digit semester dan mengambil tema tugas akhir dengan pendekatan studi pesan plus semiotika, saya bisa menarik simpulan yang akan saya jabarkan lewat paparan berikut.

Pertama, Mas Eko ini adalah pribadi yang menolak tunduk pada kebiasaan arus utama dan mengingatkan saya akan perjuangan Simón Bolívar, tokoh pergerakan asal Venezuela yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan Amerika Latin dari cengkraman Monarki Spanyol pada abad 18. Sebagaimana yang dilakukan Bolívar, Mas Eko juga beranggapan bahwa ia perlu menentang sebuah sistem terkutuk yang dianggap menyebabkan manusia menjadi tidak bebas dan merdeka. Coba simak perkataan Mas Eko saat dimintai surat-surat oleh polisi, dan Anda akan mengerti bahwa sebetulnya ia sedang memperjuangkan suara pengguna motor yang sering kita rasakan tapi tak punya cukup nyali untuk dikatakan.

“STNK-ne ra eneng, iki motor nyilih! Bajingan og.”
“Bar iki mulih tak amuk ndase, lonthe, SIM-e ra nduwe og.”
“Yo wis ben to, lha ngopo to kowe? Wong gur helm e lho.”


Sungguh menakjubkan. Ketika semua orang berpikir bahwa mengendarai motor harus memiliki SIM, STNK, dan mengenakan helm, Mas Eko muncul dengan gagasan berbasis logika terbalik bahwa semua prasyarat tersebut justru hanya akan menghalangi kebebasan dirinya yang sedang dalam tugas mulia, yaitu menjemput sang ayah yang baru saja pulang umroh. Coba dipikir betul, apakah memuliakan diri sendiri—dengan membawa surat berkendara dan mengenakan helm—jauh lebih penting dibanding menjemput ayah yang selesai ibadah dari tanah suci? Sudah membawa pacar yang nantinya akan berbagi jok dengan sang ayah dan bejubel-jubel barang bawaan umroh hanya menggunakan motor Scoopy, berpanas-panasan menempuh terik Sukoharjo-Solo-Karanganyar-Boyolali, Mas Eko masih harus diributkan dengan surat-surat berkendara dan helm yang bakal melindungi kepala, yang berisikan pemikiran-pemikiran revolusioner, dari kerasnya aspal? Sungguh tidak manusiawi.

Kemudian, Mas Eko juga memiliki latar belakang sama seperti Bolívar yang hidup serba berkecukupan tapi berani menggadaikan kenyamanan demi tujuan yang lebih mulia. Bolívar lahir dari keluarga ningrat di Caracas, tapi masa mudanya justru lebih sering dihabiskan bersama kaum proletar dan memiliki Ibu Angkat yang dikenal sebagai seorang budak. Pengalaman hidup inilah yang kemudian membuat Bolívar menjadi paham, bahwa ada sebuah sistem yang selama ini membuat sebagian kelompok masyarakat hidup dalam garis kemiskinan dan tidak pernah merasakan kebebasan. Di lain sisi, kita memang tidak mengetahui bagaimana rekam jejak Mas Eko di dalam lingkungan keluarganya, tapi lewat 2 video yang kini beredar di mana-mana itu, saya bisa menarik kesimpulan kalau ia memang dapat digolongkan sevagai pria yang serba berkecukupan tapi memilih hidup sederhana untuk sebuah perlawanan. Simpel saja, Mas Eko ini sedang menaiki motor Scoopy seharga 18 juta untuk menjemput ayahnya yang melakukan ibadah umroh di tanah suci.

Per 2017, biaya umroh yang disediakan oleh berbagai biro travel berkisar di angka 20 sampai 30 juta per orang, sungguh bukan angka yang kecil jika orang tersebut bukan berasal dari keluarga yang berkecukupan. Dengan narasi kesejahteraan yang dimiliki oleh Mas Eko, apakah kita melihat adanya bentuk kesombongan ketika beliau berhadapan dengan aparat? Tidak. Ia justru merendah dengan mengatakan “wong duitku kosong og, mung ameh pengadilan ngopo,” ketika banyak orang justru menawarkan praktek suap atau ‘jasa titip’ saat melakukan pelanggaran lalu lintas. Demi sebuah perlawanan, Mas Eko paham bahwa kekayaan finansial tidak berarti apa-apa, persis seperti yang dilakukan Bolívar ketika merelakan tanah dan harta benda miliknya disita penguasa Spanyol akibat sikap politik yang ia miliki. Membela cita-cita orang banyak untuk melihat sebuah perubahan sistem, bagi mereka kedua, jelas lebih mulia dibanding kepentingan pribadi.

Sebagaimana yang dilakukan Bolívar, Mas Eko juga menyadari bahwa sebuah perlawanan kadangkala tidak bisa dilakukan seorang diri. Bolívar pernah mengajak jendral militer kawakan, Francisco de Miranda, untuk menemani dirinya melakukan revolusi kemerdekaan—seperti yang ia lakukan bersama George Washington di Amerika, atau saat dirinya memimpin Army of the North di Battle of Varmy yang menjadi cikal bakal gerakan Revolusi Prancis. Bukan hanya Miranda saja yang pernah menjadi sekutu Bolívar, tapi ada juga Gubernur Cartagena yang mengirimkan pasukan untuk membantu Bolívar memenangi pertempuran akbar di Cucuta, karena didasari oleh kesamaan ideologi sebagai pribadi yang anti-Spanyol. Representasi Miranda dan Gubernur Cartagena bagi Mas Eko dapat dengan mudah kita temukan pada sosok Bang Udin dan Heri—yang sayangnya sedang piket—saat dirinya mendapatkan hadangan dari aparat karena dianggap melakukan pelanggaran lalu lintas. Saat terdesak dan hampir konslet, sebuah kondisi yang disebut Mas Eko saat berhadapan dengan aparat, ia meminta bantuan dari Bang Udin dan Heri agar bisa mengambil kunci dari ‘pulisi-pulisi lalu lintas yang bikin complain’.

Bukan hanya itu saja, Mas Eko kemudian melakukan sebuah rekayasa situasi yang memposisikan Bang Udin dan Heri sebagai kelompok yang ditantang oleh aparat, dan melabeli mereka sebagai kolektif orang gila karena membuat dirinya harus menunjukkan SIM dan STNK saat mengendarai motor. Politik yang dijalankan Mas Eko ini nampak seperti sebuah usaha untuk mengadu Polisi Militer dengan Polisi Lalu Lintas, kemudian ujung-ujungnya meminta bantuan dari pihak pertama untuk kepentingan dirinya sendiri. Mas Eko sepertinya paham betul dengan adagium klasik yang terdapat pada risalat Sanskrit, Arthashastra, yang mengatakan bahwa the enemy of my enemy is my friend. Sebagai seorang tokoh perlawanan, Mas Eko memang diharuskan piawai membaca situasi dan memanfaatkan peluang sekecil apapun demi cita-cita orang banyak, yaitu numpak motor modal yakin lan bismillah tanpo perlu nggowo helm, SIM, lan STNK.

Mas Eko juga mewarisi sifat romantis Bolívar, yang memiliki seorang tambatan hati untuk menemani dirinya melakukan revolusi. Bolívar jatuh hati kepada Maria Teresa del Toro, wanita cantik kelahiran Madrid yang kemudian ia sunting setelah 2 tahun menjalani hubungan. Sayangnya, Maria Teresa harus mangkat lebih dulu meninggalkan Bolívar karena terjangkit penyakit kuning dan membuat Bolívar luar biasa berkabung, lantas mengucapkan sumpah untuk tidak lagi menikah di kemudian hari, meskipun saat menyandang status duda dirinya belum genap berusia 19 tahun. Terlihat ‘keras’ dari luar karena berani menantang dunia demi cita-cita yang lebih baik, Bolívar ternyata masih punya sisi lembut untuk seorang wanita yang paling ia kasihi. Tak terkecuali dengan Mas Eko, yang juga memiliki dua sisi berbeda ketika melakukan komunikasi dengan aparat dan kekasihnya—yang tidak diketahui identitasnya itu. Dalam komunikasi nonverbal, ada ekspresi tertentu yang bisa disimpulkan hanya melalui perilaku mata dan parabahasa, dan apa yang dilakukan Mas Eko membuat saya teringat akan beberapa tulisan milik Paul Ekman, yang sering didaulat sebagai pakar mikro-ekspresi dan pendeteksi kebohongan paling piawai di seluruh dunia.

Dalam Nonverbal Messages: Cracking the Code: My Life's Pursuit, kita bisa menemukan perubahan perilaku mata ketika Mas Eko melakukan interaksi dengan aparat dan sang kekasih. Saat berbicara dengan aparat yang sedang merekam kelakuannya, Mas Eko melakukan perilaku mata regulator, yaitu ketidaksediaan menatap lawan bicara dengan memalingkan muka untuk menandakan ketidaksukaannya. Pun dengan parabahasa yang dimiliki Mas Eko, di mana ia berbicara dengan cepat, nada tinggi, dan volume suara kencang untuk menunjukkan kegusarannya kepada aparat. Sedangkan kepada sang kekasih? Anda akan melihat perubahan nada, volume, dan tempo yang mengisyaratkan bahwa Mas Eko jauh lebih ramah kepada wanita yang ia cintai, bahkan ia mengeluarkan gestur mesra dengan membungkuk dan berulangkali meyakinkan pasangannya lewat kalimat, “Ayo, Dek, kowe melu aku, manut aku, iki wong ra nduwe ati,” hanya demi membujuk sang kekasih agar terhindar dari prahara yang sedang ia hadapi. Ketika semua orang memanggil pasangan dengan sebutan, ‘Beb’, ‘Yang’, ‘Hon’, atau ‘Umi’, Mas Eko hadir mendobrak tatanan arus utama dengan menggunakan sapaan sayang klasik nan paling berkesan, yaitu ‘Dek’.

Lagi pula, tahukah Anda alasan utama kenapa Mas Eko enggan menggunakan helm sementara sang kekasih justru tertib berlalulintas dengan menggunakan pelindung kepala? Tepat. Ia memberi kesempatan kepada Mbak Pacar untuk mengacak-acak rambutnya—yang tersisa sedikit di jambul bagian depan karena tidak tertutup oleh kopiah—seperti yang biasa dilakukan oleh pasangan ketika merasa gemas atau sayang bukan kepalang. Naik motor berdua, sok merasa sakit ketika dicubit dari belakang, kemudian ditutup dengan adegan mengacak-acak rambut sambil berujar, “kamu ngeselin banget sih,” adalah situasi yang diinginkan oleh Mas Eko ketika memilih sikap untuk tidak menggunakan helm saat menemani sang kekasih jalan-jalan di siang yang terik itu. Sungguh, kalian semua kalah romantis dibanding Mas Eko.

Namun yang paling epik, tentu saja adegan saat Mas Eko menyeringai dan menyatakan ketidaksukaannya pada aparat yang merekam perilakunya karena telah nggawe mumet Mas Eko. Ekspresi yang sempat membuat aparat yang merekam video itu berkata “mangap mangap koyo singo,” tersebut muncul karena idola kita itu berada pada kondisi terdesak dan diselimuti amarah yang telah memuncak. Sebagai seorang tokoh perlawanan, memang penting bagi Mas Eko untuk menunjukkan sisi garangnya ketika ada kelompok lain yang berusaha untuk menghentikan usahanya mendobrak sistem yang dirasa menyulitkan. Ekspresi yang dikeluarkan Mas Eko itu membuat saya teringat akan tokoh Alan Gado yang menjadi final boss di Bloody Roar 2, di mana dirinya bisa bertransformasi menjadi singa untuk mendapatkan kekuatan bertarung yang jauh lebih dahsyat. Transformasi ini hanya bisa dilakukan ketika empunya kekuatan sedang dalam kondisi terdesak dan tidak bisa menahan amarah, tapi beruntungnya, Mas Eko menahan emosi sehingga transformasi itu tidak terwujud dan menghindarkan semua pihak dari pertumpahan darah.

2000 kata yang baru saja Anda baca sebelum mencapai paragraf ini, adalah bentuk kekaguman saya terhadap tokoh perlawanan yang menolak tunduk terhadap ortodoksi dan membalik logika semua netizen karena jalan pikir adiluhung ya ia miliki. Ia mau bangkit melawan dan menolak berdiam diri saja seperti orang yang baru saja menghadapi realita “we fall in love with people we can’t have,” karena menurut Mas Eko, apa yang ia yakini harus ia perjuangkan meski sebagian orang akan melabeli dirinya sebagai sosok sesat nalar. Pada akhirnya Mas Eko memang harus berhadapan dengan hukum karena menolak tunduk terhadap undang-undang, tapi ia mengajarkan kepada kita bahwa anarkis sesungguhnya tidak hanya hadir di forum-forum intelektual dan bersembunyi di balik tajuk keyboard warrior, tapi juga bisa ada di sekeliling Anda: naik Scoopy biru, menolak menggunakan helm, alpa surat berkendara, dan membawa sosok terkasih yang tak bergeming dan memilih bungkam saat diajukan pertanyaan,

“He yangmu edan to? He? He?”