Kamis, 09 April 2015

Olga Syahputra dan Tawa yang Semacam Embuh

So long, funny guy.



Sore itu, saya dibangunkan Ibu. Setelah percobaan ke sekian, akhirnya saya bangun. Masih setengah sadar, mata kriyip-kriyip, saya mendengar sayup-sayup suara azan dari masjid di dekat rumah.

Oalah, wis magrib to.

Pikir saya, adalah hal wajar kalau Ibu membangunkan anaknya ketika waktu magrib tiba. Pasti disuruh buru-buru bangun, lalu salat. Maklum, waktu Magrib memang yang paling singkat di antara waktu-waktu salat lainnya. Kalau saya masih klumbrak-klumbruk koyo kumbahan reget di atas kasur waktu magrib tiba, tentu saja harga minyak dunia tidak akan melambung tinggi. Tapi ya itu, paling besoknya nama saya sudah dicoret dari kartu keluarga. Dan itu jauh lebih berbahaya.

Le, bangun. Olga meninggal dunia.” Mak jegagik. Saya langsung bangun, seketika nyawa saya terkumpul penuh.

Pertama, saya heran. Saya kira, kalimat pertama yang bakal terucap waktu membangunkan saya—sama seperti biasanya—itu, “Bangun, sudah anu* (*= waktu shalat yang paling mendekati) lho. Ayo, keburu habis.”  Kedua, siapa sosok Olga yang dimaksud Ibu? Mengingat saya tidak punya kawan atau saudara dengan nama itu, pikiran saya langsung merujuk kepada Olga Syahputra. Ketiga, kalau memang yang dimaksud Olga Syahputra, tingkat urgensinya seberapa besar, sampai-sampai membangunkan anaknya hanya untuk diberitahu berita duka artis—alih-alih perintah salat magrib? Nah, ruwet to? Bangun tidur saja sudah punya tiga rumusan masalah.