Minggu, 09 November 2014

Ramen, Gama-Chan, Sexy no Jutsu, dan Hal-Hal Dungu Lainnya


Keluarga Cemara

Malam itu serasa surreal. Saya yang baru saja rampung melahap suguhan sci-fi nan elegan milik Nolan, Interstellar, kembali harus terdiam sembari mengawang-awang setelah membaca bab terakhir Naruto. Untuk alasan yang pertama, tentu karena terkagum. Hampir selama 3 jam, saya menikmati visual megah dengan sentuhan Odissey-esque dan muatan emosional yang pas. Untuk alasan yang kedua, karena muatan emosional yang membuncah. Pikiran saya kacau untuk sejenak, karena komik yang saya ikuti sejak 12 tahun silam, malam itu tamat. Bukan hal mengejutkan memang, karena Naruto sendiri sudah sejak jauh-jauh hari dikabarkan oleh Masashi Kishimoto—sang empunya karya—akan tamat jelang penutupan 2014. Bukan karena ada twist yang sedemikian mengejutkan dari segi plot juga, karena menurut hemat saya komik ini sudah mengalami degradasi kualitas sejak cukup lama; yang mana, hal ini mengakibatkan cerita jadi mudah ditebak dan terkesan ‘terpaksa selesai’ lebih lekas.

Naruto memang tidak menempati posisi nomor wahid dalam deretan komik terbaik yang pernah saya baca. Tapi, Naruto pernah membuat saya tergila-gila selayaknya saat saya membaca komik favorit saya sepanjang masa, Dragon Ball, dulu. Apa alasannya? Mari sedikit bernostalgia.