Jumat, 07 Februari 2014

Menyambut Si Mini yang Kemlinthi


dialog legendaris jaman semono

“Eh, mampir Indomaret sedhilit ya. Tak tuku rokok karo Aqua. Kowe titip ra?
 
“Ah ora, rokokku isih. Ndang cepet ya, tak enteni njobo.”

Sebatang rokok Gudang Garam dengan setia menemani saya di halaman parkir, tatkala menanti seorang teman yang pamit untuk beli rokok di dalam minimarket. Saya malas kalau harus ikut masuk. Bukan apa-apa, meski teman saya ini hanya punya niat beli rokok, durasi dia ada di dalam minimarket itu mungkin sama dengan durasi Ibu-Ibu yang sedang memilih barang untuk belanja bulanan; tengok ini, tengok itu, cek harga A, bandingkan dengan harga B — meski pada akhirnya, barang pertama yang ia sentuh juga lah yang akan ia beli. Selain itu, tidak turun dari motor juga menghindarkan kalian dari jerat Ninja Parkir, yang seringkali mendadak muncul —entah dari mana asalnya, untuk minta uang parkir saat hendak pergi meninggalkan tempat. Tak terasa, hampir 20 menit saya menanti teman saya di luar; ­scrolling timeline, sembari berjuang keras menahan diri untuk tidak tergoda dengan semerbak aroma surga yang berasal dari gerobak martabak yang bersebelahan dengan saya.

“Cuk, ayo.”

“Ayo ndasmu. Suwe men kowe mung tuku rokok, nyambi karo khataman Al-Quran opo piye neng kono?”

“Enggggh….cengelmu semphal. Ning njero antrine akeh mau Cuk.”

Singkat kata, kami berdua kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Namun sempat tebersit pertanyaan, “jika memang hanya ingin membeli rokok dan air mineral, kenapa teman saya ini tidak memilih untuk beli di kios rokok/toko kelontong yang jaraknya hanya berapa meter dari Indomaret ini? Aneh.” Kita semua tentu tahu, kalau membeli rokok di kios rokok/toko kelontong pasti akan terbebas dari antrean panjang. Apalagi, selisih harganya juga cukup lumayan. Harga sebungkus Gudang Garam di kelontong, paling mahal Rp. 11.000 —bandingkan saja dengan harga di minimarket, bisa sampai Rp. 11.800 atau Rp. 12.400. Memang hanya selisih Rp. 800 – Rp. 1.200, namun namanya selisih tetap saja selisih. Lagipula, tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi beli rokok eceran tatkala kondisi keuangan sedang memprihatinkan, atau pinjam korek api yang digantung menggunakan tali-karet untuk menyulut sebatang pertama. Dan tentu saja, tatkala menyambangi minimarket, kita tidak akan bisa menyapa si penjual dengan sapaan legendaris: “tumbaaaaaaaas.”

Jika didata, mungkin jawaban praktis dan nyaman akan menempati posisi puncak dalam daftar alasan orang berbelanja di minimarket; sekalipun barang yang ingin dibeli juga tersedia di warung kelontong —dan juga lebih murah. Bagaimana tidak, di minimarket kita bisa langsung membandingkan harga dan mengambil barang dalam varian yang jauh lebih lengkap, tanpa perlu menunjuk dan menyebut nama barang yang ingin dibeli kepada si penjual. Lagipula, di mana lagi kita bisa beli kondom sembari mengenakan helm dan melewati proses transaksinya tanpa kebanyakan ­ba-bi-bu selain di minimarket?

Tak ada yang tak sepakat, jika kemudian saya menyebut kehadiran minimarket ini semakin menjamur dari tahun ke tahun.  Sebermula dari beberapa gerai dalam lingkup satu kota; kemudian memperlebar sayap jadi beberapa gerai dalam satu kecamatan; lalu bertambah banyak lagi menjadi tiap gerai dalam satu kelurahan. Bahkan dalam beberapa kasus di kota-kota besar, minimarket ini sudah mulai masuk ke komplek perumahan. Pernah Anda bayangkan sebelumnya, bahwa suatu saat minimarket akan masuk ke pemukiman warga? Kalau belum pernah, Anda tidak sendiri; saya pun demikian.

Di beberapa kota di Indonesia, fenomena pertumbuhan jumlah minimarket yang gila-gilaan ini terjadi hampir secara serentak. Pun di kota kelahiran saya, Solo. Sejak pertengahan 2012 hingga akhir 2013 lalu, Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu setidaknya menerima 60 pengajuan izin pendirian minimarket baru, dengan 13 di antaranya juga mengajukan izin untuk buka selama 24 jam. Itu saja, belum ditambah dengan jumlah minimarket yang sudah duluan ada di beberapa titik di kota Solo.  Meskipun pihak BPMPT mengklaim bahwa mereka hanya akan meloloskan setengah dari jumlah pengajuan izin pendirian yang masuk, namun bagi saya pribadi —dan mungkin diiyakan juga oleh warga Solo yang lain, jumlah ini saja sudah cukup banyak. Pertanyaannya adalah, seperlu itukah kita akan kehadiran minimarket?

Menengok ke belakang, sebetulnya kota ini punya rekam jejak yang cukup baik dalam pengelolaan ritel modern. Pada era kepemimpinan Joko Widodo (2005-2012), setidaknya jumlah pengajuan izin pendirian ritel modern ini lebih gila-gilaan lagi: 12 pengajuan izin pendirian mal dan 130 pengajuan izin pendirian minimarket. Dan berapa jumlah yang lolos izin? Hanya dua mal dan 12 minimarket saja. Namun sepeninggal Jokowi, pembatasan ini terkesan menjadi longgar. Padahal, ini jelas bersinggungan dengan proyek investasi ‘militansi ideologi’ pemkot waktu itu; di mana rakyat adalah pilar utama yang berperan sebagai investor terbesar dalam total pendapatan daerah. Sebagai contoh pada 2010 lalu, pendapatan asli daerah kota Solo yang terbesar justru disumbangkan oleh sektor pedagang kaki lima dan usaha kecil menengah. Dengan kontribusi sebesar Rp. 19,2 miliar, angka ini jauh melampaui kontribusi hotel (10 miliar), iklan (6 miliar), parkir (1,8 miliar) dan restoran (5 miliar). Dan mirisnya, sektor penyumbang pendapatan terbesar itu kini mulai terancam dengan hadirnya retail modern. Dalam kasus yang sederhana saja, sudah banyak warung kelontong —bagian dari usaha kecil menengah di kawasan pemukiman warga, yang kemudian harus gulung tikar karena kalah bersaing dengan minimarket. Sad but true.

Padahal, rentetan perizinan yang harus dilalui oleh investor untuk mendirikan sebuah minimarket tidak bisa disebut mudah. Mengutip Adityo Setyawarman dalam “Pola Sebaran Dan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Retail Modern (Studi Kasus Kota Surakarta)”, ada beberapa tahap yang harus dilalui untuk bisa mendirikan sebuah minimarket, antara lain: IPR dan cetak peta, proses UKL/UPL, rembug dengan masyarakat, kajian Amdalin, IMB. Selain itu, minimarket juga harus mengantongi rekomendasi dari Dinas UMKM untuk mengakomodasi produk usaha kecil menengah, serta mengakomodasi tenaga kerja lokal yang direkomendasikan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans). Apalagi, Perda No 5/2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern mensyaratkan semua ritel modern —termasuk minimarket, harus berjarak minimal 500 meter dari pasar tradisional. Dan bagi minimarket yang ingin mengajukan izin buka 24 jam, harus berada di jalan nasional dan jalan provinsi. Selain itu, minimarket 24 jam juga harus berada di sekitaran Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan berada di kawasan Rumah Sakit.

Terdengar rumit dan berbelit? Mungkin. Namun tidak bagi pengusaha ritel modern. Bagi pengusaha ritel modern, ‘usaha’ bukan hanya mencakup ketrampilan mengelola segala hal yang berbau finansial semata, namun juga ketrampilan membaca peluang untuk melakukan tipu muslihat dengan pihak-pihak tertentu —yang dianggap perlu.

Pada Oktober 2013 lalu, BPMPT merasa janggal (?) dengan pendirian sejumlah minimarket baru di beberapa titik di kota Solo. Diduga, para pengusaha ritel modern ini sengaja ‘menabrak’ deretan perizinan yang berbelit itu untuk menghindari proses yang bertele-tele. Kebanyakan pemilik minimarket anyar ini disinyalir baru memiliki surat pemanfaatan ruang dan cetak peta, padahal bangunannya sudah jadi dan beberapa bahkan sudah beroperasi. Mereka menganggap bahwa sisa proses perizinan lainnya bisa diurus sembari jalan, yang penting bangunan jadi dan beroperasi terlebih dahulu. Toh kalau saja dikenai sangsi, paling hanya membayar denda, tidak mungkin disegel dan dirubuhkan, wong bangunannya sudah jadi dan siap beroperasi. Kemlinthi!

Di beberapa tempat, saya bahkan menyaksikan sendiri bagaimana Perda No 5/2011 ini ‘dikencingi’ sendiri oleh minimarket. Di jalan Dr. Radjiman misalnya, ada minimarket baru yang hanya berjarak 450-460 meter dari pasar tradisional terdekat, Pasar Jongke. Tetangganya, Sukoharjo, bahkan ketempatan dua minimarket dalam radius 1 km dan salah satu di antaranya bahkan hanya berjarak kurang dari 200 m dari pasar tradisional terdekat, pasar Gentan. Di Jagalan, Indomaret dan Alfamart berdekatan menjalin hubungan love-hate-relationship selayaknya Farhat Abbas – Nia Daniaty dalam radius kurang dari 50 meter. Dan yang lebih biadab lagi sewaktu saya indekos di Jakarta untuk urusan magang, saya menemui lima sampai tujuh minimarket yang saling berdekatan di sepanjang jalan Bangka, yang mana di situ juga terdapat pasar tradisional, Pasar Bangka. God bless Mart-Mart’an!

Dari segi dampak, tanpa perlu menggunakan kajian yang terlalu njelimet pun sebetulnya saya paham bahwa kehadiran minimarket ini tentu berimbas pada usaha kecil dan juga pasar tradisional. Karena saya sempat menyaksikan sendiri, bagaimana belasan warung kelontong di beberapa kampung yang saling berdekatan dengan kediaman saya, perlahan gulung tikar karena ada dua minimarket baru di sekitar lingkungan kami. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam skala kecil, kebanyakan dari kami lebih memilih untuk berbelanja di minimarket meski dengan banderol yang sedikit lebih mahal. Kalaupun masih ada warung kelontong yang buka, jumlah barang yang tersedia di sana pun kini menurun drastis. Tidak selengkap dan sekomplit biasanya —atau lebih tepatnya, sebelum kemunculan minimarket.

Di beberapa minimarket yang buka 24 jam, bahkan menyediakan tempat nongkrong. Yang ini, bahkan tidak bisa saya pahami lagi: konsep nongkrong di minimarket. Saya ingat, New York Times edisi Mei 2012 bahkan sempat mengangkat fenomena ‘nongkrong’ di minimarket ala orang Indonesia ini. Sang penulis, Sara Schohardt, menuliskan bahwa nongkrong di 7-Eleven —minimarket yang dijadikan objek observasi menunjukkan adanya penghapusan jenjang sosial di masyarakat. Bagi Sara, di mana lagi kita bisa menyaksikan motor Astrea berdampingan mesra dengan mobil Mercedes Benz di tempat parkir?

Tuhan memang menganugerahi bangsa Indonesia dengan segala jenis keunikan. Pun dengan cabang 7-Eleven-nya —yang mana menjadi satu-satunya gerai 7-Eleven di bagian dunia manapun yang menyediakan kursi dan payung berukuran besar untuk tempat nongkrong. Karena hakikatnya, 7-Eleven di negeri asalnya pun hanya ‘berfungsi’ sebagai minimarket biasa yang menyediakan pelbagai kebutuhan sehari-hari. Bukannya saya anti nongkrong, saya justru sangat menyukai kegiatan meeting-talking-and-doing nothing tersebut, hanya saja saya memiliki tempat yang —bagi saya lebih menarik untuk dijadikan tempat nongkrong, daripada harus berlama-lama berkumpul di bawah lampu terang minimarket selayaknya laron. Daripada saya menghabiskan belasan ribu hanya untuk berdandan necis menenteng sebotol minuman bersoda beserta sebungkus kacang atau keripik dengan bonus saus-krim gratis yang bisa di­-refill sebanyak mungkin di minimarket, saya lebih memilih untuk menghabiskan belasan ribu dalam jumlah yang sama untuk duduk di wedhangan mengenakan celana kolor dan jaket dari dealer motor untuk tanduk dalam berhala bernama bebakaran sate jeroan penuh kolesterol. Sebut saya sebagai pemuda konservatif, tapi kultur dan budaya keseharian pula lah yang membuat saya lebih nyaman untuk melakukan ‘nongkrong’ dengan opsi kedua.

Kembali ke minimarket. Memang kurang pas jika kemudian membandingkan minimarket dan angkringan sebagai opsi tempat nongkrong, karena masing-masing memiliki pasar yang berbeda pula. Angkringan bukan merupakan bentuk antitesis tempat nongktong dari minimarket, namun mungkin lebih tepatnya sebagai alternatif substitusi. Lagipula, saya tidak sebegitu antinya kepada minimarket. Jika saya butuh perlengkapan teng plenyik saat melakukan perjalanan ke luar kota, mencari sekaleng bir sebagai teman menonton bola di kala dini hari tiba, atau seketika butuh celana dalam ekstra saat jarum jam menunjuk angka 2 dini hari, tentulah minimarket menjadi opsi utamanya. Toh dari segi bisnis, minimarket juga menyerap puluhan ribu tenaga kerja. Apalagi jika efek berantainya (multiplier effects) diperhitungkan, kehidupan ratusan-ribu orang bertali-temali dengan bisnis ini.

Hanya saja jauh sebelum hiruk pikuk minimarket ini hadir, sebetulnya toko kelontong dan pasar tradisional sudah memiliki konsep berjualan yang kurang lebih serupa. Menjual kebutuhan sehari-hari dan pendapatannya sangat bergantung kepada kehadiran pengunjung. Jika berbicara efek berantai dari pasar tradisional, tidak kalah banyak orang yang bertali-temali dengan pasar. Pernah pada pertengahan 2013 lalu, saya beserta kawan-kawan kuliah membuat video feature tentang kuli panggul Pasar Gede, dan menyaksikan sendiri bagaimana keterlibatan banyak orang dalam proses transaksi, mulai dari skala jual-beli yang paling kecil. Pasar tradisional merupakan representasi sempurna dari prinsip ekonomi kerakyatan yang sempat menjadi fokus utama Jokowi-Rudy, karena di sana banyak varian usaha mikro dan kecil memperdagangkan produknya. Hanya saja, jumlah modal memang sering menjadi pembeda dalam kedua jenis usaha ini. Karenanya, saya rasa tak adil jika kemudian usaha kecil seperti ini harus disandingkan dengan raksasa ritel macam minimarket.

Pembeli juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Mereka menjadi konsumtif, karena fasilitas untuk menunjang itu ada dan juga dekat dengan lingkungannya. Adalah wajar, jika kemudian mereka lebih memilih untuk berbelanja di tempat yang letaknya strategis, bersih, memiliki jenis barang yang komplit, dan dilengkapi dengan fasilitas pendingin ruangan; daripada harus berkubang di tempat belanja yang becek, kumuh, pengap dan juga tak nyaman. Namun pertanyaanya adalah, berapa banyak dari kita yang terakhir kali menginjakkan kaki di pasar tradisional —yang dicap sedemikian buruknya itu? Alangkah naif dan bodoh, jika kemudian kita terjebak ke dalam persepsi seperti itu dalam kurun waktu yang cukup lama, hanya karena ‘katanya’ dan jarene —tapi tak pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

Statistik menunjukkan, Pemkot Solo baru saja selesai merevitalisasi tiga pasar tradisional dengan dana Rp. 16,7 miliar pada kurun waktu 2013. Dan ke depannya, 12 pasar tradisional (lima pasar pada 2014, tujuh pasar pada 2015) lain juga sudah direncanakan untuk direvitalisasi. Ini berarti, hampir setengah dari jumlah keseluruhan pasar tradisional di Solo, 43, telah direvitalisasi. Tak ada lagi bangunan  becek, kumuh, pengap, dan tak nyaman. Menilik fakta tersebut, lagi-lagi pertanyaannya adalah: kapan terakhir kali Anda menginjakkan kaki di pasar?

Dalam kasus ini, saya bermimpi pemerintah kota di seluruh nusantara berani mengambil kebijakan tegas macam kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten Sragen. Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Sragen memutuskan untuk tidak lagi mengeluarkan izin pendirian minimarket atau pasar modern sejak awal tahun ini, karena cengkram gurita minimarket yang berjumlah 30 gerai itu dirasa sudah kelewat banyak. Hal ini juga bertujuan, untuk melindungi keberadaan pasar tradisional yang sudah terlebih dahulu menjadi tumpuan masyarakat untuk berbelanja. Pembatasan pertumbuhan gerai minimarket ini memang sudah seharusnya dilakukan pemerintah, dan jangan diterjemahkan sebagai usaha untuk menghalangi orang berbisnis. Ini bertujuan, untuk tidak membiarkan roda perekonomian dari hulu ke hilir hanya dikuasai oleh segelintir orang dari perusahaan yang itu-itu saja. Karena tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan toko kelontong, pasar tradisional, dan warung-warung kecil telah menjadi tulang punggung ekonomi pelaku usaha ekonomi mikro selama puluhan tahun. Di titik inilah, pemerintah bekerja; baik sebagai regulator maupun pengelola negara.

Sebagai sesama kaum muda —yang seringkali menjadikan minimarket sebagai destinasi utama untuk berbelanja, saya menyarankan kepada Anda-Anda sekalian untuk mencoba menyambangi pasar. Asah kemampuan nego kalian di sana, temukan pelbagai varian sayur yang tak pernah bisa kita temukan di katalog promo bulanan yang dilempar dari depan pagar rumah, icipi aneka jajanan kue pasar yang tak kalah nikmat dibanding kue warna-warna pelangi so-called premium seharga pulsa paket internet bulanan itu. Coba. Lagipula, sudah tak terhitung berapa kali kasus jatuh cinta dan momentum penemuan jodoh berasal dari tempat ini —setidaknya itu yang saya lihat di beberapa episode FTV; “Cintaku Untuk Putri Bakul Brambang Asem Sar Gedhe”, “Juragan Daging Segar Kesayanganku”, atau “Bronjong Sayur Cinta” tidak terdengar terlalu buruk, bukan? Apalagi jika Ibunda tercinta mengajak Anda untuk menemaninya pergi berbelanja di pasar; jangan sesekali lancang untuk menolaknya. Tonton 15 menit terakhir Hello Ghost untuk cari tahu alasannya, and you’ll thank to me later.