Senin, 09 September 2013

Blabitisme Dunia Maya

aku, kamu, kita semua budak digital.


(*) Sebelumnya perlu diketahui, bahwa saya sangat anti untuk menulis apapun yang berkaitan dengan politik atau kepemerintahan. Gambar di atas, cukup jelas merepresentasikan alasan keengganan saya untuk menulis tentang kedua hal tersebut di blog pribadi. Namun, saya diminta untuk mengisi kolom opini di sebuah majalah cetak terbitan kampus. Sebetulnya saya ingin menulis tentang isu perselisihan supporter di Solo tempo hari, namun saya rasa tidak banyak memiliki data tentang itu. Yah apapun itu, alih-alih hanya menjadi kertas pembungkus tempe panas di kantin kampus, bukankah lebih baik saya mengunggah tulisan ini ke blog pribadi?

************************************ 

Di Indonesia, para pengguna jejaring sosial punya kebiasaan unik: membangga-banggakan capaian di dunia maya —entah itu pribadi atau kelompok, yang menurut hemat saya, malah sama sekali tidak membanggakan. Sebagai contoh, sudah beberapa kali penggguna Twitter di Indonesia membanggakan capaian mereka, karena mampu menembus peringkat trending topic worldwide, dengan cara menciptakan/membahas isu yang sama secara berulang-ulang dan bersamaan. Perlu diketahui, sebuah bahasan yang mampu menembus peringkat trending topic worldwide, berarti juga menjadi sorotan para pengguna Twitter di seluruh dunia. Dan hal ini menjadi kebanggaan abstrak bagi sebagian pengguna Twitter di Indonesia, karena merasa bisa ‘menunjukan identitas bangsa’, dengan menampilkan kemampuan bergotong royong untuk membahas sesuatu yang sama sekali tidak penting. Tapi satu hal yang sering dilupakan oleh mereka yang membanggakan capaian ini adalah: fakta bahwa pengguna Twitter di Indonesia, adalah pengguna terbesar nomor lima sedunia. Jadi, apabila separuh dari mereka saja sepakat untuk membahas sebuah isu secara bersamaan, kiranya bukan hal sulit untuk kemudian bisa menempatkan isu yang mereka angkat ke dalam trending topic worldwide.

Lain capaian kelompok, lain pula capaian individu. Jika capaian kelompok diwakili dengan munculnya isu yang ramai dibahas di trending topic worldwide, maka capaian individu di Twitter seringkali diidentikkan dengan kuantitas —juga kualitas. Dari segi kuantitas, yang paling sering dijadikan tolak ukur bagi sebagian orang adalah: jumlah pengikut, atau followers. Jumlah followers yang membeludak, identik dengan tingkat popularitas di dunia maya. Ada yang memang sudah terkenal terlebih dahulu di dunia nyata, kemudian popularitasnya itu menjalar ke popularitas di dunia maya. Ada yang sebaliknya; merintis kepopuleran di dunia maya, untuk kemudian beranjak mulai dikenal di dunia nyata. Kepopuleran untuk golongan yang kedua ini bukan datang tanpa sebab, mereka banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, namun yang paling sering ditemui adalah: tweet atau kicauan mereka, dinilai menarik dan mampu mengundang banyak followers untuk memantau linimasanya. Entah karena unik, lucu, cerdas, informatif, memuat urusan percintaan, atau sebagainya. Fenomena ini sebetulnya sesuai dengan penjelasan Vannevar Bush dalam esainya di 1945, As We May Think. Di esainya itu, ia membayangkan suatu saat keyboard dan layar akan memungkinkan penggunanya menghadirkan pengetahuan, hiburan, serta informasi baru bagi sekelompok manusia yang terkumpul. Dan itulah, yang menyebabkan beberapa orang selalu mempunyai daya tarik sehingga bisa mendapatkan kepopuleran di dunia maya.

Mereka yang populer di dunia maya, seringkali diposisikan sebagai ‘aktor’ di sebuah panggung bernama linimasa; sedang para pengikutnya, adalah penonton setia. Mau tidak mau —mereka yang populer di dunia maya ini harus diakui, kalau mereka memiliki kemampuan untuk menggiring para pengikutnya menuju pemikiran yang seragam. Mungkin tidak semuanya, namun paling tidak, ada sebagian besar pengikut mereka yang secara berkala memantau perkembangan linimasa atau bahkan mengiyakan pemikiran orang populer tersebut. Bebas saja, toh negara ini memang menyediakan fasilitas untuk itu, kebebasan berpendapat di muka umum. Namun yang menjadi masalah adalah, bagaimana jika kemudian seseorang yang sudah populer di dunia maya itu, menggunakan ‘kekuatannya’ untuk menggiring pengikutnya ke arah pemikiran yang belum tentu benar?

Sah-sah saja memang, untuk mengemukakan pendapat atau berbagi pemikiran di jejaring sosial, namun jangan lupa, hanya kerena kebebasan itu bisa dikemukakan di dunia maya, bukan berarti tidak ada hukum di dunia nyata yang mampu membatasi gerak-geriknya. Negara ini adalah negara hukum, ada berderet undang-undang yang sudah disusun untuk membatasi gerak-gerik warga negara supaya tidak berperilaku sewenang-wenang; dan untuk ranah dunia maya, salah satu undang-undang yang sering dijadikan tameng adalah Pasal 27 junto Pasal 45 UU RI No 11:2008 ITE. Pasal ini mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik lewat jejaring sosial. Jadi, sebagaimana kebebasan di dunia nyata, kebebasan di dunia maya pun (mau tidak mau) harus bertanggung jawab.

Pekan lalu, pengguna Twitter di Indonesia digemparkan oleh penahanan Benny Handoko, sang pemilik akun @benhan. Benhan —begitu ia biasa disapa, sebelumnya dikenal di Twitter sebagai akun dengan pengikut yang cukup banyak, yang seringkali menuliskan bahasan-bahasan informatif. Sering, ia berbagi pemikiran dengan pengikutnya, mulai dari topik sepakbola, politik, atau ekonomi. Yang membedakan ia dengan akun berita adalah: ia mengemas bahasannya dengan luwes dan interaktif, sehingga berhasil menarik minat banyak pengikut untuk terus memantau linimasanya. Hingga suatu saat, ia terlibat perang kicauan atau biasa disebut tweetwar, dengan salah seorang mantan politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Misbakhun.

Pada penghujung 2012, Benhan sedang berbagi pemikiran tentang urusan politik kepada para pengikutnya di dunia maya. Sampai pada pembahasan tentang Century, di mana Benhan juga menyertakan nama Misbakhun di dalamnya. Benhan menuduh Misbakhun sebagai “perampok bank Century, pembuat akun anonim penyebar fitnah, penyokong PKS, mantan pegawai Pajak di era paling korup,” serta membeberkan beberapa opininya tentang keterkaitan Misbakhun di skandal kasus Century. Pembahasan ini akhirnya sampai juga di telinga Misbakhun. Merasa tidak terima dengan tuduhan tersebut, ia meminta Benhan untuk menunjukkan fakta, bukan hanya buah pemikiran semata. Sempat terjadi adu argumen di antara Benhan dan Misbakhun, di satu sisi Benhan merasa kekeuh dengan argumennya, di satu sisi pula, Misbakhun bersikukuh meminta Benhan untuk menunjukkan bukti valid tentang tuduhannya tersebut. Adu argumen diakhiri dengan sebuah kicauan dari Misbakhun yang bernada mengancam,” Sudah saya capture. Sulit lari.”

Sembilan bulan kemudian, buntut perselisihan itu baru kentara. Misbakhun melaporkan Benhan ke Polda Metro Jaya, atas tuduhan pencemaran nama baik. Setelah melalui beberapa kali proses pemeriksaan, akhirnya Benhan diringkus pada Kamis (5/9) lalu. Ini bukan kali pertama, seseorang ditahan karena tersandung pasal ITE. Sebelumnya, tercatat ada 11 kasus serupa, di mana perkara ‘pencemaran nama baik’ sering dijadikan pemantik kasusnya.

Apakah ini bentuk pengekangan kebebasan berpendapat? Tentu tidak. Berpendapat dengan memberikan tuduhan tidaklah sama. Menurut hemat saya, Benhan juga melakukan kesalahan; karena tuduhan yang dialamatkan ke Misbakhun, tidak disertai dengan bukti dan alasan yang kuat. Orang akan mengira, jika tuduhan ini hanya berasal dari buah pemikiran semata. Kedua, Benhan arogan. Kenapa? Karena kita semua tahu, yang diminta Misbakhun hanyalah permintaan maaf dari Benhan, karena sudah mencemarkan nama baiknya. Alih-alih menyambut ruang lebar yang sudah dibuka oleh Misbakhun, justru Benhan malah terlihat menganggap klarifikasi itu tak penting untuk dilakukan. Entah, jika kemudian ada orang yang menganggap permohonan maaf dari Benhan hanya akan membuatnya nampak lemah di mata masyarakat, namun yang jelas, tidak bisa memberikan bukti atas tuduhan-tidak-mengenakkan yang dialamatkan kepada seseorang, jelas merupakan kesalahan. Dan tidak meminta maaf setelah jelas-jelas membuat kesalahan, adalah kesalahan pangkat dua: fatal —jika tidak mau disebut (maaf) bodoh.

Namun jelas, saya menganggap penangguhan Benhan adalah sesuatu yang berlebihan. Tak perlu saya menyebutkan deretan kasus yang tentu lebih penting untuk diusut di negeri ini, untuk sekedar menyatakan betapa ‘sepele’nya perkara ini dibandingkan kasus-kasus besar yang sampai saat ini masih belum tuntas. Namun faktanya, hampir sebagian besar pengguna jejaring sosial melakukannya setiap hari: mencela publik figur —atau bahkan mengalamatkan tuduhan tidak mengenakkan yang masih simpang siur kebenarannya. Hanya saja naas bagi Benhan, tuduhan yang ia lontarkan ditanggapi serius oleh yang bersangkutan. Saya yakin, jika celaan yang sering kita alamatkan ke publik figur itu akhirnya ditanggapi oleh yang bersangkutan, kita semua juga merasa bingung dan was-was.

Sesekali saya juga berpikir, kita tidak bisa hanya berlindung di balik keyboard dan monitor, ketika jari jemari kita membuat sebuah pernyataan yang menyinggung orang lain, atau bahkan membuat tuduhan yang belum terbukti kebenarannya. Semua harus ada konsekuensinya, dan kasus Benhan ini akhirnya membuat para pengguna jejaring sosial di Indonesia sadar, bahwa kebebasan berpendapat mereka bukan tanpa batasan. Dan sekali lagi, power yang muncul dari capaian atau jumlah pengikut di Twitter —yang sering dibangga-banggakan itu, tidak akan berarti apa-apa, jika nantinya kita harus berurusan dengan dunia nyata.

Namun perlu diketahui juga, Misbakhun bukanlah sosok pria tanpa cela. Politisi yang akhirnya hijrah ke Partai Golongan Karya ini pernah dituduh terlibat dalam penerbitan letter of credit (L/C) Selalang Prima International miliknya, oleh Kepolisian Negera di Pemerintahan SBY. Ia diduga memalsukan surat deposito untuk mendapatkan kredit US$ 22,5 juta. Kemudian, Misbakhun divonis bersalah dan dihukum setahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan diperberat hukumannya menjadi dua tahun setelah melalui proses banding.

Lantas pertanyaannya adalah: jika ‘pencemaran nama baik’ hanya sah dan berlaku untuk seseorang yang namanya masih baik, lantas jika namanya sudah jelek, apanya yang merasa dicemarkan?