Rabu, 12 Juni 2013

Mencoba Mengerti Marco Veratti


Mini-Vidic, is that you?

Sebelum Anda berpikir untuk meninggalkan laman ini karena judulnya yang gak banget — atau bisa dikatakan lebih mirip judul artikel sisipan majalah remaja wanita, yang berdampingan mesra dengan kolom “Zodiak Kamu Hari Ini” — percayalah, saya sudah berulang kali ketik-hapus-ketik-hapus judul, mulai dari: “Marco (O)Verrat(ed)ti”, “Marco Overrated Veratti (?)”. Terlihat rumit dan susah dibaca?Coba lihat ini:“Marco Veratti yang Ingin Dimengerti”Geli? Sama. Jadi saya pikir, judul yang saya pilih ini sudah yang terbaik. Harap maklum.

Adalah Zdenek Zeman, yang bertanggung jawab atas gelar “The Next Andrea Pirlo” yang disandang Verratti sejak umur 19 tahun. Ia yang pertama kali mengubah posisi Verratti dari central midfielder menjadi deep-lying midfielder. Mengingat ia memang memiliki teknik, visi, dan juga akurasi passing di atas rata-rata, Veratti nampak tidak kesulitan ketika beradaptasi dengan posisi barunya. Malah kalau boleh dibilang, lebih nyetel dibanding dengan penempatan posisi sebelumnya. Bersama Insigne dan Immobile, ia berkontribusi untuk membawa Pescara promosi ke Serie-A dengan status jawara Serie-B. Prandeli bahkan pernah mencantumkan namanya ke dalam 32 skuat yang dibawa Italia ke Euro 2012, sebelum akhirnya dicoret bersama 6 pemain lain, karena alasan seleksi dan perampingan tim.

Selayaknya animo calon mahasiswa baru saat jumpa dengan penjaja buku — atau lebih tepatnya kumpulan fotokopi buram — “Tips Sukses SNMPTN” seharga 15-ribuan di kala mengantre daftar masuk kuliah, Marco Verratti pun mendadak menjadi incaran banyak klub karena berada dalam “waktu jual” yang tepat. Juventus, Napoli, dan PSG secara terang-terangan menyatakan ketertarikan mereka untuk menggunakan jasa pemuda kelahiran Manopello, Pescara ini. Saat itu, fans Juventus boleh sedikit jemawa karena saat transfer-market berlangsung, beredar luas foto Verratti cilik yang tengah mengenakan jersey Juventus + berbagai kutipan tentang ketertarikannya untuk bermain di klub idola semasa kecilnya itu. PHP level: comeback CR7 ke Old Trafford.
Napoli pun nampak enggan kalah dalam perburuan. Bahkan menurut kabar yang beredar, De Laurentiis sempat menginstruksikan kepada Lorenzo Insigne untuk membujuk Veratti secara personal. Mungkin tentang ajakan untuk kembali mengulang masa kejayaan di Pescara bersama-sama di Naples. Mungkin.

Namun ibarat pria berseragam orange dengan peluit di tangan yang-mendadak-entah-muncul-darimana saat kita ingin memarkirkan/meninggalkan kendaraan di lokasi parkir, PSG tiba-tiba muncul dan menyeruak dalam perburuan Marco Verratti.  Memang betul, pada saat bersamaan Ancelotti dan beberapa nama besar di Serie-A melakukan eksodus besar-besaran ke Paris, tapi siapa yang mengira kalau seorang pemuda berumur 20 tahun yang bahkan belum pernah mencicipi atmosfer liga kelas wahid di negaranya, bakal ditawari untuk hijrah ke luar negeri dan — lebih mencengangkan lagi — dibanderol 12M?

Tentu saja Napoli dan Juventus mundur teratur ketika mendengar Verratti sudah dibanderol €12M oleh PSG. Lebih-lebih, urusan transfer Juventus di-handle oleh Beppe Marotta. Sedari dulu, ia memang terbiasa menangani urusan transfer klub dengan keuangan yang biasa-biasa saja (Venezia, Atalanta, Sampdoria) baginya sangat pantang untuk berjudi mengeluarkan uang jumlah besardemi pemain yang belum teruji betul kualitasnya. “Kalau bisa gratis, kenapa harus membayar” adalah salah satu prinsip yang ia pegang teguh, bahkan sampai ia menangani Juventus saat ini. Sebagai perbandingan, dana yang digelontorkan PSG untuk membeli Marco Verratti lebih mahal dibandingkan harga pembelian ke-empat pemain kunci Juventus: Arturo Vidal (€10.5M), Andrea Barzagli (€500K), Andrea Pirlo (Free). dan Paul Pogba (Free).Overrated and overpriced, eh?

************
Verratti pun hijrah ke Paris. Keputusan yang disayangkan oleh banyak pihak di Italia ini, juga diikuti oleh beberapa keraguan. Sebagai contoh, di awal musim saat Ancelotti menerapkan skema 4-3-3, banyak yang mempertanyakan dimana Verratti akan bermain?Skill terbaiknya sebagai pemain poros, diragukan tidak akan muncul ketika ia ditempatkan dalam skema seperti ini, lebih-lebih jika ia ditempatkan melebar.
 Pada skema 4-3-3, Veratti jarang menempati posisi utama. Terhitung ia hanya dipasang sebagai starter sebanyak 3x, saat PSG mengawali laga dengan formasi ini. Posisinya terlalu jauh didapuk di depan. Verratti sendiri padahal pernah berkata “Saya nyaman berada di depan daerah pertahanan. Saya bisa dengan lebih leluasa melihat ruang dan memberikan supplai bola kepada pemain lain. Saya rasa, daerah itu — turun ke dalam, sebelum garis tengah lapangan — titik maksimal posisi saya.Saya kurang cepat dan tak sanggup untuk naik lebih ke depan.” Dari 7x bermain menggunakan skema seperti ini, PSG mencatat hasil yang kurang bagus; 3x menang, 3x seri, dan 1x kalah. 

Tapi Ancelotti bukanlah pelatih kemarin sore yang baru saja lulus kursus kepelatihan sepakbola, dia adalah seorang jenius yang tahu benar bagaimana caranya untuk memaksimalkan potensi yang ada di dalam timnya.
Pasca menorehkan hasil buruk dengan skema 4-3-3, PSG lantas bermain dengan skema 4-1-2-1-2. Don Carlo nampaknya jelas melihat Veratti tidak nyaman bermain sebagai central midfielder. Ditempatkanlah ia sebagai deep-lying-playmaker dengan Chantome dan Matuidi sebagai ‘pelindung’-nya. Perubahan gaya bermain ini membawa hasil yang sedikit lebih bagi PSG. Verratti pun mampu bermain sebagaimana mestinya. Satu-satunya problem di skema permainan ini adalah: Javier Pastore nampak tidak terlalu nyetel dipasang sebagai Trequartista di belakang Ibra dan J.Menez. Linking-up-play antara Pastore – Ibra – Menez tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Di bursa transfer musim dingin, PSG mendatangkan (another-overrated-overpricred) wonderkid yang berasal dari Sao Paolo Brazil: Lucas Moura. PSG yang sedang bertransisi formasi — dari 4-1-2-1-2 ke 4-2-2-2 — tentu mendapat amunisi tambahan yang cocok dengan apa yang sedang mereka butuhkan. Hal ini tentu membuat sang manajer sumringah. Saya membayangkan, raut wajah gembira Ancelotti kurang lebih sama seperti ekspresi bocah umur 9 tahun yang akhirnya mendapatkan kartu ekstra-langka: Mew, sebagai pelengkap dan penutup koleksi 150 kartu Pokemon yang sudah ia kumpulkan dengan susah payah.Mulai dari sini, Verratti mulai menunjukkan alasan kenapa ia bisa menyandang gelar “The Next Pirlo”.

Dua pemain di depan 4 pemain bertahan — atau yang biasa disebut double pivot — sama-sama bertugas untuk mensupport defense. Tapi masing-masing dari mereka, juga mengemban amanah tersendiri dari pelatih: satu pemain lebih terfokus untuk mengacaukan arus serangan lawan, satu pemain lagi ditugaskan untuk mendistribusikan bola kepada lini depan. Di PSG, tugas ini dijalankan dengan baik oleh duet Verratti dan Matuidi. 

Matuidi adalah salah satu kunci kenapa Verratti bisa bermain dengan aman. Kemampuan holding ball dan juga intercept-nya, ditambah dengan kemampuan tackle-nya yang di atas rata-rata. Ia adalah pemilik rataan tackle per match terbanyak di PSG, dengan total 123 tackle, atau rata-rata 3,3 tackle per match. Total intercept-nya pun tertinggi di PSG, dengan total 131 intercepts, atau 3,5 intercept per match, bahkan jauh di atas centre-back terbaik mereka, Thiago Silva. Matuidi juga berperan baik menjadi physical link bagi Veratti.
Sedangkan Verratti sendiri, berada lebih dekat dengan back-four dan juga berkonsentrasi untuk mendistribusikan bola ke depan sembari melihat ruang untuk kemudian melepaskan passing jarak jauh. Suplai bola ke Pastore/Moura juga sangat bergantung dari pergerakan bocah yang bagai Chicarito dibelah dua ini.Inilah salah satu keuntungan — yang juga bisa jadi kerugian — bagi tim yang menerapkan skema “4 midfielders in a  ‘square’ formation”: Arus serangan, sangat bergantung dari pergerakan 4 pemain ini; lebih-lebih pada salah satu dari mereka yang memang ditugaskan untuk mendistribusikan bola ke berbagai lini.

Skema 4-2-2-2 juga selalu menuntut seorang pemain depan untuk tidak hanya menjadi seorang penyerang, tapi juga menjadi pemain yang mampu beradaptasi dengan attacking midfielder yang seringkali berubah-ubah menjadi winger. Karena jika tidak, akan begitu nampak ‘lubang’ di antara 6 pemain bertahan dan 4 pemain menyerang, lebih-lebih jika para pemain tipikal penyerang ini enggan turun untuk membantu lini pertahanan. Beruntung, Lavezzi dan Ibra adalah pemain yang tidak keberatan untuk wara-wiri turun ke lebih dalam, hanya untuk mempersempit ruang gerak pemain lawan di daerah pertahanan, sembari berusaha untuk ‘jemput bola’.

************

Di perhelatan Euro U-21, semua mata pasti tertuju pada talenta-talenta muda yang digadang-gadang akan menjadi pemain besar dunia. Tidak terkecuali pada Marco Verratti. Di skuat Italia, namanya cenderung lebih mentereng dibandingkan pemain-pemain lain. Sekalipun Italia U21 punya deretan nama yang tidak kalah tenar, seperti Insigne, Destro, Marrone, Borini, dsb.Lagi-lagi, julukan “The Next Andrea Pirlo”juga menjadi alasan kenapa banyak orang menaruh perhatian pada pemain yang satu ini. Publik ingin melihat, bagaimana aksi dan “kadar-kemiripan-gaya-bermain-ala-Pirlo” yang dimiliki oleh Verratti. Ekspektasi publik Italia dan pecinta sepakbola, tentu melambung tinggi. 

Di awal laga melawan Inggris — sekalipun Italia hanya unggul 1-0 lewat eksekusi bola mati — Verratti tampil tidak mengecewakan.Meski pergerakannya selalu diganggu dan dibayangi oleh Shelvey, tugasnya untuk mendistribusikan bola ke berbagai lini tetap mampu ia lakoni dengan apik. Successful passes Verratti mencapai angka 121. Bandingkan dengan pengumpan terbaik Inggris, Henderson: 44 (yah, namanya juga timnas Inggris).Hanya sayang, lini-depan Italia tampil kurang menggigit malam itu. Borini nampaknya lupa, saat itu ia bermain dan berseragam untuk Gli Azzuri, bukan untuk Liverpool.Jadi, tak perlu ia menyesuaikan diri dengan sering membuang peluang dan bermain serampangan. Pun demikian saat bermain melawan Israel. Bukan hanya berperan jadi distributor bola, ia juga ikut turun membantu 2 centre back di belakangnya, untuk kemudian mempersilakan fullback naik membangun serangan. 

PSG dan Italia U-21, tentu masih jauh dari gaya bermain Verratti-sentris, seperti pengaruh seniornya Andrea Pirlo ketika bermain di Juventus maupun Italia senior. Namun, ada beberapa tugas yang diemban Pirlo, juga mampu dikerjakan dengan baik oleh Verratti. Baik dari gaya bermain, visi, akurasi passing, kemampuan untuk turun membantu daerah pertahanan. Tapi, ada beberapa aspek selain jenggot dan pengalaman bermain milik Pirlo, yang tidak dimiliki Verratti: kemampuan membuat peluang. Karena memang lebih sering berkutat dengan daerah pertahanan, chance rate milik Verratti hanya 15; bandingkan dengan rataan milik Pirlo, 74. Sekalipun nampak seperti orang yang lari-lari santai keliling komplek, Pirlo memang memiliki kemampuan yang sama baiknya ketika membaca serangan dan membangun serangan. Aspek nomer 2 inilah, yang belum begitu menonjol dalam diri Verratti. In case, jika memang dia “disamakan” dengan Andrea Pirlo.

Belakangan ia bilang bahwa ia mengidolakan Andrea Pirlo, tak lebih dari ia mengidolakan David Pizarro. Verratti kagum akan kemampuan playmaker Fiorentina asal Chili itu, yang sangat sulit kehilangan bola, sekalipun berada dalam kepungan lawan. Beberapa jurnalis sepakbola di Italia, bahkan lebih dulu mengatakan bahwa gaya bermainnya di Pescara cenderung lebih seperti Pizarro: lebih nyaman berada di depan back-four; sangat sering turun ke daerah pertahanan, sembari melakukan tackle dan mengambil boladengan cara yang sangat ‘rawan-kartu-kuning’. Tapi selain itu, ia juga adalah sosok diminutive deep-lying playmaker yang diberkahi dengan visi bermain dan kemampuan passing yang luar biasa. Mungkin kemampuan inilah, yang membuatnya lebih disamakan dengan dengan sang maestro— pemain yang belum tentu ada dalam 1 dekade sekali — Andrea Pirlo. Karena di Italia, akan lebih mudah menemukan pemain yang memiliki gaya bermain seperti Pizarro, dibanding menemukan pemain yang memiliki gaya bermain seperti Pirlo. Saya merasa, statement yang keluar dari mulut Verrati itu hanya bentuk ketidaknyamannya akan pelabelan sejumlah media.  Sehingga ia berusaha melepaskan “jerat Pirlo” yang ada di dalam dirinya, dengan menjadikan Pizarro sebagai perantaranya.

Saya sendiri bukan tipikal penikmat bola yang gemar melabeli talenta muda/pemain berbakat dengan titel “The Next”, sekalipun ada beberapa pemain yang gaya bermainnya mengingatkan saya dengan sejumlah pemain hebat. Melabeli mereka dengan titel seperti itu, buat saya hanya akan membatasi karir dan pencapaian empunya titel seakan-akan tidak bisa melampaui karir sang pemain yang dijadikan contoh. Iya kalau mereka memang jadi pemain hebat, bagaimana kalau nasib mereka seperti para pemain yang berlabel “The Next Pele”, ha? Bukankah hal itu hanya akan menjadi bahan lelucon dan materi segar untuk dibuat meme di akun-akun parodi sepakbola?

Jadi, marilah kita sedikit mencoba mengerti Marco Verratti. Biarkan ia bermain sebagaimana mestinya, dan jangan memberi beban ekspektasi yang terlalu berlebihan hanya karena ia memiliki gaya bermain dengan pemain lain. Toh bagaimanapun, ia adalah pemuda berumur 20 tahun yang baru saja rampung bermain di Serie-B, dan mendadak “dibajak” oleh klub kaya negeri seberang dengan harga yang tidak masuk akal untuk pemain seusianya. Asal tidak sering-sering menerima ajakan John Terry untuk keluar malam, perjalanan dan perkembangan karirnya tentu masih bisa berkembang pesat.

Yes , he is overrated& overpriced, but doesn’t mean he’s untalented. Just give the kid some damn time.