Sabtu, 30 Maret 2013

Who The Fuck is Eyang Subur Anyway?


Beberapa hari belakangan,  pagi-siang-sore saya di depan layar kaca dihabiskan dengan suguhan berita mengenai konflik antara Adi Bing Slamet dengan Eyang Subur. Untuk nama yang disebut pertama, tentu tidak terlalu sulit bagi kita untuk mengingat sosok si empunya nama; sekalipun belakangan ini ia hanya sesekali muncul di TV sebagai juri ajang pencarian bakat khusus anak-anak, dan dalam beberapa kesempatan tampil di tayangan sinetron religi sebagai pedagang teraniaya, yang di akhir cerita entah-bagaimana-caranya selalu bisa jadi orang kaya.  Tapi untuk nama yang disebut kedua, saya begitu asing.  Eyang Subur? Lalu siapa yang memberinya pupuk?

Who the fuck is Eyang Subur anyway?

Selidik punya selidik, ternyata Eyang Subur adalah sosok nyentrik yang dituding oleh Adi Bing Slamet, sebagai seorang pria ber-istri  9 yang memiliki keahlian/ketertarikan kepada hal –hal berbau mistis, spritual, ghaib, klenik, atau semacamnya. Dalam beberapa kesempatan, Adi bahkan terang-terangan menyebut Eyang Subur sebagai seorang dukun/paranormal. Tapi yang mencengangkan, saat tuduhan itu dialamatkan kepada Eyang Subur, kemudian muncul beberapa sosok artis kawakan yang menyanggah pernyataan Adi Bing Slamet tersebut. Sebut saja:  Srimulat, Unang, dan sebagian komedian yang sesekali kita lihat di TV/film, namun tidak pernah kita ketahui siapa namanya. Hanya familiar dengan wajahnya saja. Mereka beranggapan bahwa Eyang Subur adalah pria baik yang selama ini menjadi guru spiritual bagi mereka. Tidak kurang, (tapi sangat diragukan) tidak lebih.

Tentu akan semakin rumit — dan tidak ada gunanya — jika membahas tentang siapa sebenarnya sosok ‘Eyang Subur’ ini. Lagipula, saya yakin sesaat setelah anda membaca artikel ini, anda masih bisa ‘menikmati’ suguhan tentang perkembangan kasus ini di TV. Dimana anda akan menyaksikan tayangan: seorang pria melotot, menggebrak meja & mengacungkan tangan ke arah kamera sambil marah-marah; Adi Bing Slamet berusaha tampil seperti pemuka agama dengan menggabungkan air mata & kata-kata ‘umat’ secara bersamaan; tayangan ulang perayaan pesta Eyang, dimana pada saat itu Eyang Subur dan istrinya — yang terlalu banyak menyemprot hairspray di rambut jambul ala nyonya pejabat itu — justru terlihat sebagai petinggi TRIAD yang seringkali disebut sebagai ‘kakak pertama’ di film-film mafia Hongkong; semuanya diputar berulang-ulang. DALAM SEHARI PENUH.

Di beberapa portal berita online, diberitakan bahwa dia adalah seorang juragan percetakan, ada pula yang bilang dia hanya orang biasa yang punya alat cetak uang yang digerakkan oleh kekuatan gaib, entertainer kurang terkenal, dsb.  Yah, semacam taipan-ngacengan-nyentrik gitu pokoknya.
Tentu, saya tidak sedang menulis untuk salah satu infotainment, pun akun blog saya tidak sedang di-hack oleh seorang admin kapanlagi.com, di tulisan ini saya hanya ingin berandai-andai dan berdelusi,

BAGAIMANA JIKA KITA BANGUN TIDUR, DAN MENDAPATI BAHWA DIRI KITA ADALAH EYANG SUBUR?

  1. Jika saya bangun tidur dan mendapati bahwa saya adalah Eyang Subur, maka kemudian saya akan beli tank terbaru keluaran Rusia, untuk saya gunakan berkeliling kota sambil makan Beng-Beng dari atas kemudi tank.
  2. Jika saya bangun tidur dan mendapati bahwa saya adalah Eyang Subur, maka saya akan menghubungi Masashi Kishimoto dan Eichiro Oda, untuk segera membeli lisensi Naruto dan One Piece, agar hanya saya seorang yang tahu lanjutan chapter-chapter terbarunya. Mati kalian jadi arwah penasaran.
  3. Jika saya bangun tidur dan mendapati bahwa saya adalah Eyang Subur, saya akan memberi Coboy Junior uang sebesar 1 trilyun (masing-masing personil), supaya mereka berhenti bernyanyi.
  4. Jika saya bangun tidur dan mendapati bahwa saya adalah Eyang Subur, saya akan bergegas menuju kamar mandim cuci muka lalu sholat Subuh. Sekalipun syahwat saya Naudzubillah, saya harus tetap ingat Allah. Ailah.
  5. Jika saya bangun tidur dan mendapati bahwa saya adalah Eyang Subur, saya akan memproduksi lagi konsol PSX, dan saya bagi-bagikan ke seluruh anak kecil di Indonesia, beserta CD Suikoden II, Bishi Bashi Special, Harvest Moon: Back to Nature, dan FF VII di dalamnya.
  6. Jika saya bangun tidur dan mendapati bahwa saya adalah Eyang Subur, saya akan beli setiap jengkal tanah di perkampungan — yang sudah beralih fungsi dari lapangan sepakbola jadi perumahan —supaya saya rubuhkan dan saya jadikan lagi lapangan sepakbola.
  7. Jika saya bangun tidur dan mendapati bahwa saya adalah Eyang Subur, saya akan booking seluruh seat theatre JKT-48 selama 1 tahun penuh hanya untuk 1 nama, dan kemudian saya jadi penonton tunggal, handshake dan hi-five dengan member berulang-ulang kali, dihapal namanya oleh semua member, untuk kemudian saya ajukan  penawaran untuk jadi istri ke 10,11,12,13,14,15. Lebih-lebih ke Melody, Kinal dan Sonya.
  8. Jika saya bangun tidur dan mendapati bahwa saya adalah Eyang Subur, saya akan membeli akun @DennyJA_World, @pepatah, dan @damnitstrue untuk kemudian saya gunakan untuk nge-tweetFUCK YOU, I’AM EYANG SUBUR.”
  9. Jika saya bangun tidur dan mendapati bahwa saya adalah Eyang Subur, maka saya akan segera terbang ke Amerika, untuk membujuk Nicki Minaj agar segera di-ruqiyah.
  10. Jika saya bangun tidur dan mendapati bahwa saya adalah Eyang Subur, saya akan beli pabrik Yakult, dan kemudian memproduksi Yakult keluaran terbaru, dengan botol kemasan seukuran Aqua 150 ml.
Kalo kamu?

Minggu, 24 Maret 2013

Komentator Angkringan


Ketika Palestina dan Israel sudah sepakat melakukan gencatan senjata, anak muda di luar sana masih saja melangsungkan debat antara ini ‘Malam Minggu’ atau ‘Sabtu Malam’. Saya sendiri, lebih senang menyebutnya dengan opsi kedua. Dan saya melewati opsi kedua itu dengan nongkrong bersama teman-teman sebaya di angkringan dekat rumah. Sesampainya di sana, saya kemudian meminta lépék, untuk nantinya saya taruh tempe, tahu bacem dan sate kikil sebagai hidangan untuk menemani saya menyaksikan duel sengit antara Indonesia melawan Arab Saudi. Saat saya menyerahkan lépék beserta isi hidangannya untuk dibakar, kedua mata saya kembali menaruh perhatian pada televisi berukuran 14 inch yang tergantung di pojok atas pos kamling tempat saya tinggal. Usianya televisi itu jauh lebih tua dibanding durasi perkenalan Manchester City dengan fans-nya di berbagai belahan Asia, pun dengan sahur trophy terakhir Wenger sampai dengan puasa gelarnya yang tak kunjung ‘buka’ hingga hari ini. Televisi di pos kamling ini, mengawali perkenalannya dengan penduduk kampung lewat suguhan laga Prancis – Italia; yang kemudian memunculkan nama Trezeguet sebagai salah satu aktor utamanya.

Bakaran hidangan saya sudah jadi, ketika sebuah longpass dari Kurnia Meiga bisa sampai ke kaki sang kapten, Boaz Salossa. Awalnya ia nampak seperti orang linglung, karena tinggal ia sendiri yang berada di kotak pertahanan; namun Boaz tetaplah Boaz, yang kemudian dengan cepatnya mengambil keputusan untuk memperdaya dua pemain bertahan Arab Saudi, untuk kemudian diteruskan dengan sebuah tendangan diagonal ke sudut kiri gawang Waleed Abdullah. Goal. Gelora bergemuruh, seisi penonton pos kamling di tempat saya berdiri pun demikian. Ada yang mengepalkan tangan ke udara, ada yang berteriak kencang seakan lupa bahwa di sebelahnya ada tetangga yang punya bayi kecil yang baru saja lahiran, ada pula yang kemudian sibuk menatap layar hp-nya untuk sekedar ganti status BBM/update di Twitter ‘BOAZ MOTHERFUCKIN SALOSSA!’.  Sebuah momentum yang memungkinkan mereka yang sudah makan sampai kenyang, bisa diam-diam pulang duluan tanpa ketahuan belum membayar.

Menit-menit berikutnya, para penonton di sini lebih banyak dibuat deg-degan oleh rangkaian serangan Arab Saudi.  Untuk sekedar pemberitahuan, rataan usia penonton di pos kamling yang bersebelahan dengan angkringan dekat rumah saya ini beragam. Anak usia kelas satu SD yang datang dengan ayahnya, segerombolan pemuda karang taruna setempat, bapak-bapak yang selalu saja mencoba melucu dengan mengeluarkan joke-joke usang soal komentator bola, ibu-ibu yang sekedar mampir beli lauk-pauk untuk hidangan makan malam keluarganya, semua ada. Jadi bisa anda bayangkan, betapa riuh — cenderung berisik — ketika separuh dari mereka semua turut berkomentar, saat Supardi harus berulang kali kesulitan meng-cover derasnya serangan Arab Saudi dari sektor kiri.

Dan akhirnya Yahya Sulaiman Al-Shehri membuat separuh keriuhan tadi terdiam. Ia yang memenangi duel udara dengan Hamka Hamzah, kemudian berhasil menyarangkan bola ke gawang Kurnia Meiga. Meiga nampak sedikit kesal, karena sebetulnya dia mampu membaca arah datangnya bola dengan benar. Sayang, laju bola sedikit lebih kencang; sehingga tepisan darinya tidak cukup kuat untuk menghadang bola agar tidak masuk ke gawang. Skor imbang, 1-1.

Kredit spesial harus diberikan pada Kurnia Meiga, Jika bukan karena aksi heroiknya ketika menghentikan tendangan Taiseer Yabir yang bebas berdiri di kotak pinalti, mungkin timnas akan semakin sempoyongan ketika jelang turun minum.

Sepanjang babak pertama, sebetulnya ada beberapa pertanyaan yang sering terlontar oleh beberapa komentator yang duduk di angkringan, seperti: kenapa Supardi — yang notabene-nya sudah lama tidak bermain di kiri — dipasang sebagai fullback; kenapa Ponaryo & Ian Kabes berada di lapangan, sementara Bustomi dan Greg duduk di bangku cadangan; kenapa harga bawang tak kunjung turun, dan pertanyaan kenapa-kenapa lainnya. Entah kenapa, setiap duduk di lincak (kursi berbentuk panjang) angkringan, siapapun yang ada di sana nampak sudah mengikuti kursus kepelatihan resmi FIFA, dan kemudian pulang dengan mengantongi lisensi A+. Mereka lupa, di sana ada Rahmad Darmawan dan Jackson Thiago yang sudah makan asam garam di kancah sepakbola nasional; mereka pasti jauh lebih paham dibandingkan siapapun yang duduk di lincak, yang seringkali hanya bermodalkan statistik dan ilmu asal-tebak-saja yang didapatnya dari salah satu koran olahraga ternama.

Jelang babak kedua, beberapa dari kami sudah menyiapkan amunisi. Ada yang sudah ‘berhadapan’ dengan perpaduan sebungkus nasi sambal dengan sate usus dan tempe kering, ada pula yang hanya minta diisi ulang gelasnya dengan wedang jahe hangat.Saya sendiri, memegang rokok di tangan kanan, sembari menyisakan beberapa kacang rebus dan tempe bacem di lépék  yang saya minta di awal laga tadi. Beberapa anak kecil yang tadinya berdesak-desakan duduk di pos kamling pun harus merelakan tempatnya digusur oleh senior di kampungnya. Akhirnya, sebagian dari mereka memilih untuk bermain kejar-lari-tangkap di sekitar pos kamling, alih-alih menyaksikan duel timnas di babak kedua.

Nampaknya, tugas Mario Teguh dan Tung Desem Waringin untuk menyamar dengan kostum ala RD dan Jackson Thiago ke dalam ruang ganti pemain saat jeda berhasil. Untuk sesaat, timnas termotivasi dan berani untuk tampil menyerang. 8 menit pertama, bahkan sebuah pergerakan berbahaya dari Ponaryo Astaman harus dihentikan secara paksa oleh pemain Arab Saudi. Sayang, eksekusi tendangan bebas dari Van Dijk yang tepat mengarah ke arah gawang, masih terlalu lemah.

Petaka datang di menit 56, ketika sebuah umpan dari silang Sultan Khalaf (lagi-lagi) harus menghasilkan duel udara, yang dimenangkan oleh Yousef Mansour Al Salem. Kerumunan bek kita hanya bisa terperangan melihat arah datangnya bola, seakan ingin memberikan angin segar kepada komentator yang selalu dengan mudahnya mengatakan kekalahan timnas karena ‘postur tubuh’.

Lagi-lagi, seisi pos kamling dan angkringan harus terdiam. Kali ini, benar-benar terdiam. Tak ada lagi, celotehan “Kok Cristian Gonzalez ga dimasukin aja sih?” —sedangkan Crisgol memang tidak dipanggil untuk laga kali ini — dari bapak-bapak sebelah. Kali ini, semua nampaknya sedang di-set silent mode. Asa sempat kembali dipupuk, ketika Greg Nwokolo masuk menggantikan Ian Kabes. Variasi serangan timnas yang tadinya hanya bertumpu pada poros sayap, mulai berani melancarkan bola dari sektor lain. Sesaat setelah Greg masuk, terlihat Van Dijk mulai sering dapat ‘asupan’ bola, sesuatu yang sulit ia dapatkan sepanjang jalannya babak pertama & awal babak kedua.

Kemudian sesaat kemudian kami semua dibuat terheran, dengan alasan dimasukkannya Irfan Bachdim menggantikan M. Ridwan. Masuknya Bachdim adalah sebuah misteri, sebagaimana misteri kenapa Roy Suryo harus ikut berdiri dan memasuki lapangan ketika para pemain kita hendak menyanyikan lagu kebangsaan yang belum terpecahkan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Bachdim beserta istrinya, rasa-rasanya dia tidak masuk di saat yang tepat. Memang, Bachdim sama halnya seperti Ridwan; yang tidak segan untuk turun membantu lini pertahanan, sembari ikut membangun serangan dari lini sektor kanan timnas ketika dibutuhkan. Namun ketika menyerang, Bachdim nampak kesulitan untuk melewati 1-2 pemain belakang Arab Saudi. Lain halnya dengan seniornya yang ditempatkan di sektor kiri, Boaz Salossa. Ia tidak begitu kesulitan untuk menembus pertahanan Arab Saudi, namun begitu kesulitan ketika harus memberikan suplai bola kepada rekannya, karena hampir sebagian dari pemain kita dijaga dengan sebegitu ketatnya oleh pemain Arab Saudi. Menurut hemat saya sebagai komentator angkringan, ada baiknya RD memasukkan Andik yang memiliki tipikal pemain box-to-box. Dengan kelihaiannya menggocek bola dan melewati barisan pertahanan lawan, bukan tidak mungkin akan memudahkan pergerakan pemain=pemain lain untuk ikut membantu serangan.  Tapi sudahlah, mungkin RD memiliki pertimbangan lain dengan memasukkan Bachdim. Tidak ingin mengecewakan dedek-dedek lucu bercelana gemes yang sudah rela memberanikan diri datang ke GBK, misalnya.

Setelah Bachdim masuk, praktis Indonesia bermain dalam skema menyerang. Tebukti, pergerakan pemain kita berhasil membuat pasokan keringat Waleed Abdullah yang seharusnya sudah tercurcur dari babak pertama, tiba-tiba bergerontol-gerontol bercucuran di 15 menit terakhir babak kedua.

Entah bagaimana, nampaknya RD mengecek linimasa saya ketika saya menuliskan tweet ‘No Bustomi, no party’, akhirnya jagoan saya ini masuk menggantikan Ponaryo 2 menit menjelang laga bubar. Namun itu semua seperti penyesalan Mike Portnoy ketika meninggalkan Dream Theater dan bergabung dengan Avenged Sevenfold, yang dalam beberapa kesempatan hanya membuat skill bermain drum-nya harus rela dibalut oleh stik sapu dalam versi akustik ‘Dear God’: semua sudah terlambat. Agresevitas dan visi bermain Bustomi yang akan seharusnya membantu timnas sedari babak I, hanya mampu dia suguhkan selama 2 menit waktu normal dan 5 menit perpanjangan waktu. Indonesia pun harus rela menyerahkan 3 poin di kandang, kepada musuhnya di ranah tenaga kerja: Arab Saudi.

Namun, di 5 menit terakhir justru gema dukungan dari tribun semakin kencang. Saya yang hanya menyaksikan di televisi pun beranggapan, teman-teman yang menyuarakan dukungan dari pinggir lapangan masih terus bernyanyi hingga peluit panjangn dibunyikan. Persis seperti apa yang dilakukan mereka ketika menghadapi musuh yang sama, 6 tahun silam. Kami yang ada di pos kamling dan angkringan pun sepakat, bahwa kualitas Arab Saudi masih di atas Indonesia, namun kami bukan menyerah tanpa perlawanan.

Kalah adalah kalah. Sekalipun ditambahi embel-embel terhormat atau tipis. Esensi utama sepakbola adalah mencari kemenangan; perkara menghibur, membuat senang, atau yang lain itu perkara kesekian. Ketika tim yang kita dukung kalah, pastilah menyisakan sesak dan penyesalan di dalam diri pendukungnya. Seberapapun porsinya.

Tapi, melihat bagaimana 3 generasi bisa dipersatukan di sebuah pos kamling sempit dengan perantara televisi kecil — yang jauh lebih nyaman ketika berada di rumah yang luas dab TV ber-lcd — yang menjadi ajang guyub  di kampung saya (juga tempat-tempat lain), bagaimana melihat antusiasme mereka yang rela jauh-jauh datang ke GBK untuk menyuarakan dukungan, bagaimana anak muda di luar sana rela mendengarkan rentetan makian dari sang pacar, karena lebih memilih menyaksikan bola dibanding harus mampir ke kostnya untuk menikmati Sabtu malam; dan semuanya masih bisa tersenyum dan menyisakan kebanggaan, bahkan ketika timnas kalah, nampaknya kalah-menang bukan satu-satunya alasan yang mempengaruhi mereka untuk tetap bisa bersenang-senang.

Naif rasanya, bila saya, kalian, dan kita semua tidak rindu menyaksikan timnas kembali meraih gelar, atau paling tidak mampu tampil luar biasa, sehingga menyulitkan setiap lawan yang mereka hadapi. Tapi, bukankah lebih baik ketika ekspektasi kita terhadap pencapaian timnas masih belum bisa tercapai, standar-untuk-merasa-puas-terhadap-timnas-nya saja yang kita ubah? Sesederhana itu. :D 

Tetirah Memandang Teja

Acuhmu patah, sebab kokohnya digerogoti rayuan. Omong kosong perihal hiruk-pikuk masa depan, dari lisan pria yang akhirnya hanya memberimu luka sebagai kesan. Kuburu kedalaman luka tawamu, kubenamkan kedua kakiku sebelum lautan air matamu mengering, kemudian lirih kuulang sebuah pengakuan “bagaimana jika setiap jengkal luka darimu adalah candu, tanpa pernah kumaknai sebagai sendu yang membawaku lunglai tak menentu?"

Samar, keping ingatan itu terlihat mulai sekarat. Kubiarkan seperti itu, karena memang sengaja tak ingin dirawat. Di atasnya tertulis nama; yang kemudian jadi sebab, atas ketidakinginanku menanyakan alasan kenapa kita tak saling bertegur sapa pada hari yang entah. Mungkin jika ditanya perihal keparat, nama tadi yang akan kau sebut dengan lantang.

Aku adalah noda yang tak ingin kau seka, karena bagimu mungkin hidup akan lebih berwarna jika sesekali bergandengan dengan si buruk rupa. Persis seperti sesi isoma dalam repertoir musisi ibukota. Aku, hanyalah pembeda dalam jeda. Tak perlu aku menjanjikanmu akan nikmatnya syurga, sebagaimana tawaran untuk santri sebelum jadi syuhada.  Aku hanya perlu diam; menunggu kau pulang, senang, pergi, kembali datang, senang, pergi, datang, senang, kembali pulang, pergi, datang, pulang, kembali senang, begitu seterusnya. Ketika kau pulang, kebetulan kulihat kaki langit sebelah barat mulai meneja. Nampaknya, dia datang beriringan dengan arak-arakan mega.

Siapa bilang aku sedang terluka?

Senin, 18 Maret 2013

“Habis, Kamu Selebtwit Sih”

Bermain-main dengan 140 karakter, tak pernah menjadi semenarik ini. Ya, semenjak ada Twitter, menit-menit yang biasanya hanya kita habiskan dengan dlangap-dlongop ga jelas, bengong, membayangkan sesuatu yang sebagian besar hanya bisa dibayangkan saja; tiba-tiba beralih menjadi menit-menit yang diisi dengan sebuah kegiatan menyenangkan. Twitter juga bertanggung jawab atas gaya berjalan baru hampir sebagian anak muda di Indonesia: menunduk, memandangi layar hp, berjalan dengan ritme tidak jelas, dan seringkali susah-nyambung jika diajak berbicara. Sering, kita mengulang pembicaraan yang tadi sudah disampaikan, karena lawan bicara — seperti disebutkan tadi — pasti akan merengek: “Eh, apa? Gimana gimana tadi? Tadi ga jelas. Ulangin ulangin deh.” 


Yang sudah mengenal perkembangan teknologi dengan baik, pastilah akrab dengan Twitter. Rentang usia penggunanya pun beragam: mulai dari anak kecil usia 8 tahun – sampai orang tua yang digit dari umurnya hanyalah pengulangan dari angka tadi: 88 tahun. Tapi memang — seperti rentang umur pengguna jejaring sosial lainnya di Indonesia — kebanyakan pengguna Twitter masih didominasi oleh anak-anak muda, dan (orang yang merasa dirinya masih seperti) anak muda Sebutlah pantaran umur 15 – 35 tahun. Patut dicurigai, apabila ada dari mereka yang masih dalam rentang usia tadi, tapi tidak memiliki — atau bahkan belum pernah mengenal — akun Twitter; pastilah sistem pemerintahan di daerah rumahnya masih menggunakan pola kadipaten, di mana mereka memilih seorang Adipati sebagai pemimpin di daerahnya. Bisa jadi.
Di antara sekian banyak pengguna Twitter tadi, muncul segelintir orang yang dinilai pantas untuk menyandang sebuah gelar, yaitu ‘Selebwtit’. Lalu, apa itu Selebtwit?

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang ‘Selebtwit’, di antaranya:
  • Selebtwit bukan berarti ‘taruh di pohon’ dalam bahasa Jawa, karena itu seleh wit.
  • Selebtwit bukan berarti ‘taruh di sepeda’ dalam bahasa Jawa, karena itu seleh pit.
  • Selebtwit bukan berarti mantan jurnalis Rolling Stone yang sekarang konsen menggeluti karir di ranah Standup Comedy, Seleh Solihun. Oh, itu Soleh Solihun. Iya, tau yang ini garing. Garing Nugroho. [ b u n u h s a j a l a h]
Siapa yang pertama kali mencetuskan istilah ‘selebtwit’, ibarat berapa umur Nikita Willy yang sesungguhnya: hingga kini, masih menjadi misteri. Tiada satu orang pun yang tahu. Definisi ‘selebtwit’, bagaimana acuan standar selebtwit yang baik dan sesuai kaidah (hei, bukankah ini lahan bagus untuk MUI?), dan siapa-siapa saja yang berhak menjadi selebtwit masih rancu. Membolak-balik kitab suci pun seakan nihil; karena saya juga tak mendapati jawaban atas kebingungan saya perihal ‘selebtwit’ ini. Jadi, (sekali lagi) apa itu selebtwit?
Entah angin apa yang mendasari saya untuk melakukan riset, sebelum mulai menulis artikel yang bahkan-saya-tak-tahu akan dibaca oleh orang atau tidak ini; yang jelas, saya sempat melakukan riset sederhana dengan metode random sampling, dengan koresponden beberapa teman-teman saya kuliah:

Q: “Menurut kamu, apa itu selebtwit?”

(Beberapa jawaban ada yang saya edit & sederhanakan, tanpa mengubah makna jawaban tersebut)

A1: “Yang followers-nya banyak. Yang nge-tweet ‘capek’ aja di-retweet berpuluh-puluh orang.”
A2: “Yang kalo nge-tweet lebay, semua orang juga tahu, dan maksa. Apalagi kalo ngiklan.”
A3: “Ngga tahu juga. Tapi biasanya, orang yang sering nongol di timeline kita, sekalipun dia ga kita follow."
A4: “Anak sajak. Timeline-nya rapih. Kadang ada yang suka modus-modus murahan gitu. Eh tapi seru juga kok timeline-nya. Keren.”
A5: “Orang yang tahu bener caranya bersenang-senang di Twitter”
A6: “Yang kaya kamu bukan, Bon?”

Jawaban tadi saya dapatkan lewat bincang-bincang sederhana, bukan ter-struktur seperti riset skripsi/thesis mahasiswa.  Tidak dibuat-buat, hanya diedit & disederhanakan tanpa mengurangi makna sesungguhnya.*

(*) = Buat teman-teman Komunikasi UNS 2010, terima kasih kesediannya menjawab, ya. Maaf saya dulu tanya-tanya, tapi ga bilang buat apa. :p

Sebelum menyimak jawaban 1-5, mungkin ada baiknya kita sedikit membahas poin nomer 6. Yang pertama, saya tidak pernah self proclaimed sebagai selebtwit. Dari definisi selebwit yang disampaikan di poin 1-5, saya hanya ada di poin 4 dan 5; timeline saya bukan rapat tirakatan, yang hanya dipenuhi RT-RT dari berbagai tempat, hanya saja saya menaruh sedikit perhatian pada penggunaan tanda baca, estetika susunan kata, dan unsur ‘penak disawang opo ora’ kalo di-tweet. Pun, saya menggunakan Twitter sebagai media bersenang-senang dan dan perantara bagi saya untuk mengobati kejenuhan. Mungkin bagi beberapa orang, saya masuk di poin ke 2, tak apa, itu hak mereka menilai saya bagaimana. Untuk sisanya,  saya jelas tidak termasuk di kategori yang lain: followers banyak, retweet-able, menggunakan akun untuk kepentingan iklan barang/jasa, tidak pandai bersajak, tidak pandai ber-modus ria, atau bahkan selalu muncul di timeline orang yang tidak mem-follow saya. Saya jauh dari itu.

Namun memang, saya kenal & intens berhubungan dengan beberapa teman yang seringkali disebut namanya ketika diajukan pertanyaan ‘selebtwit siapa sih?’, itu saja. itupun tidak banyak. Sekali lagi, esensi bermain Twitter bagi saya adalah bersenang-senang, kalaupun sempat mengenal beberapa orang hebat dan luar biasa di sini, itu bonus. Dan tidak ada salahnya untuk menerima bonus itu dengan senang hati. Bukankah tidak baik, jika menolak rejeki?  [h e k c u I h]

Kembali ke bahasan soal jawaban beberapa rekan saya tadi. Jadi, apakah selebtwit itu bisa didefinisikan persis seperti apa yang didefinisikan oleh rekan saya tadi?

Buat saya pribadi: tidak.

Sebut saya sebagai lelaki ber-standar ganda (karena standar nasional sudah jadi milik Maspion, dan standar samping sudah jadi milik mas-mas parkir) karena saya kenal beberapa rekan yang seringkali menerima gelar — dan mau tidak mau harus menerima definisi suka-suka dari — Selebtwit.

Tapi hei, akal sehat saya juga nampaknya sulit untuk menerima kenyataan sepihak seperti itu, pun seandainya saya tidak mengenal beberapa dari mereka. Bagaimana bisa, kita menyalahkan mereka atas melimpahnya followers yang mereka miliki, hanya karena banyak dari orang yang tertarik dengan ‘ketidak-biasaan’ yang ada di akun miliknya? Jika kalian sanggup membenci seseorang karena dia memiliki pengikut lebih banyak, lantas bolehkah saya tiba-tiba membenci kalian hanya karena kalian jauh lebih kaya? Tentu tidak
.
Mungkin ada dari kita yang berpikir “yang kami benci sikap angkuhnya, bukan jumlah follower-nya”. Well, ini adalah bahasan yang tak akan pernah usai. Di satu sisi menganggap ‘tidak membalas mention adalah bentuk kesombongan’, yang satu menanggap itu sebagai hal yang biasa saja. Saya sering ngobrol dengan teman, tentang bagaimana memandang gejala ‘keangkuhan’ ini. Saya pribadi, lebih memilih terlihat angkuh di dunia maya, untuk kemudian bersikap ramah di dunia nyata, daripada sebaliknya. Fokus hidup saya di luar, bukan di linimasa. Tapi, memang lebih baiknya menjadi ramah di dua ranah yang saya sebutkan. Musuh bukan kepingan Tazoz, yang harus dikumpulkan sebanyak mungkin. Tidak ada salahnya juga, untuk menjadi ramah dan mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya di dunia maya.

Sebagai manusia normal, tentu kita memiliki kecenderungan untuk menganggap ‘diri kita lebih dari orang lain’, yang membedakan antara individu satu dengan yang lain, hanya di kadarnya. Ada yang terus menganggap hal ini sebagai sebuah pride yang harus terus dijunjung tinggi, ada pula yang sesekali mau berkompromi dengan gengsinya. Ketika kalian memiliki sesuatu yang orang lain tidak punya — dan itu dicapai dengan perjuangan —, tentu saja itu sangat menggoda kita untuk bersikap jemawa; lihat bagaimana Andhika Kangen Band beranjak dari remaja kampung yang memancing simpati & rasa salut akan perjuangannya untuk menapaki kesuksesan, beralih jadi sosok tengil & memancing umpatan seluruh ibu-ibu PKK di manapun berada. Di Twitter mungkin tidak seekstrem itu, tapi pada dasarnya memiliki gejala sama: syndrome superstar. Kembalikan saja pada masing-masing individunya. 

Emang Lu Bisa Bikin? Bisa. Tapi…..

Lantas, ada beberapa kawan yang kemudian menciptkan sebuah karya. Entah itu buku, entah itu film, entah itu perhelatan, entah itu merchandise, atau apapun yang diawali dari keberhasilan mereka menarik orang untuk mengamati setiap kicauan mereka di Twitter. Namun seperti halnya sambutan sebuah karya di manapun berada: selalu ada yang menyuarakan dukungan, pun dengan cercaan. Tidak terkecuali karya ‘anak-anak’ Twitter.

Ada yang memang sudah menikmati karyanya, lalu kemudian mengeluarkan opini pribadinya. Ada pula yang memang nampaknya dianugerahi bakat untuk jadi cenayang, karena tanpa menikmati karyanya, sudah mampu untuk mencerca. Sah-sah saja.

Saya pribadi, berusaha untuk menikmati karyanya terlebih dahulu, lalu kemudian berkomentar. Ada beberapa karya milik mereka, yang jujur, bagi saya biasa saja. Tidak menimbulkan kesan “anjing, keren!” dan membuat saya untuk terus menikmatinya secara berulang-ulang. Namun, ada pula yang sanggup membuktikan kepercayaan publik, bahwa dia bukan hanya mengandalkan ‘nama besar di Twitter’ semata.
Namun ada baiknya kita mengingat, bukan tanpa pertimbangan seseorang ditunjuk untuk menghasilkan sebuah karya. Di balik — bagaimanapun —hasil akhir sebuah karya,  tentu ada kelebihan dan sebuah pencapaian yang sudah berhasil mereka torehkan.  Bukan tanpa sebab, seseorang menunjuk mereka untuk menciptakan sebuah karya. Namun ketika jumpa dengan industri, mungkin mereka dihadapkan dengan berbagai pilihan.  Ada baiknya sering-sering berkunjung ke ‘dunia’ mereka sebelum di Twitter (blog, website, dsb), untuk menilai bagaimana kualitas mereka dalam berkarya.

Aku, Kamu, Kita Cuma Perlu Cuma Piknik

Jika ternyata kita melewati hari dengan terus-menerus mencaci, mengolok-olok, atau bahkan menentang pencapaian dengan membabi-buta, tanpa mau menerima fakta-fakta yang selalu menyertainya;  ada baiknya kita mulai menghujat diri sendiri, karena begitu bebal, sampai-sampai tidak mau menerima keberagaman.
Sampai saat ini, saya hanya menganggap Twitter sebagai tempat bermain. Taman bermain pastilah menyebalkan, jika hanya diisi oleh orang-orang relijius yang hidupnya semata hanya untuk urusan surgawi saja. Di taman bermain, kita perlu orang tengil, orang setengah tengil setengah alim, orang asyik, orang bandel, orang pendiam, orang membosankan, untuk kemudian mengisi keberagaman yang ada di dalamnya.   
Pun dengan Twitter yang selalu menjadi menarik karena ada banyak ‘pelangi’ di dalamnya. Ada yang dari pagi sampai malam, kejar setoran untuk cari retweet dan follower; ada yang bahkan dalam sehari, hanya menuliskan satu tweet; ada yang dari pagi sampai malam, hanya membicarakan soal cinta; ada pula yang komposisi jumlah tweet-nya, hampi 80 % ditujukan untuk mencibir akun-akun yang gemar menulis perihal cinta; ada yang gemar menumpuk twitlonger tanpa memperhatikan tanda baca; ada pula yang sangat teliti, mulai dari titik sampai koma. Tapi sekali lagi, mereka yang membuat taman bermain kita menjadi menarik. Tanpa si RT-abuser, kita tak akan tahu betapa indahnya ketika kita memperhatikan keindahan susunan kalimat & tanda baca, tanpa mereka yang setiap hari mengeluh soal betapa sengsaranya jatuh cinta, kita tentu akan jauh lebih menghargai orang tercinta, jika tidak ingin bernasib sama ngenesnya seperti mereka.

Hidup, terkadang seperti warna rambut Mitha The Virgin: tak menentu dan selalu penuh dengan kejutan. Tapi karena tak menentu itulah, hidup jadi menarik. Siapa yang tahu, suatu hari nanti kita (berada pada kondisi yang sering dijumpai beberapa anak-anak Twitter) akan kesulitan untuk berkata ‘tidak’, kepada mereka yang menawari kita untuk melebarkan pencapaian dan karya yang pernah kita buat. Padahal setiap hari, kita mencibir pencapaian mereka.

Siapa yang tahu pula, akun dengan pengikut banyak yang sering kita agung-agungkan itu, tiba-tiba di-hack oleh jasa layanan pembesar penis, sehingga tak lagi bisa kita gunakan. Mulai lagi dari semula, menjalin hubungan kembali dengan beberapa kawan yang ada di akun terdahulu, kembali menjadi orang yang sedikit ‘ngoyo’ untuk kejar setoran retweet dan follower. Yah, siapa yang tahu?

Ketika kita masih meributkan perihal ‘siapa-harusnya-harus-ngetweet-apa’, di lain tempat, lahan bermain ini sudah bisa menggerakkan seseorang untuk melakukan perubahan. Lihat, bagaimana masyarakat Mesir bisa menggulingkan tirani, hanya karena isu-isu yang mereka angkat di linimasa mampu menggerakkan orang banyak; lihat bagaimana masyarakat kita bisa menyuarakan dukungan untuk KPK, keberagaman beragama, dan kesetaraan hak, karena beberapa orang hebat di linimasa, mampu menggiring mereka untuk memiliki paradigma yang sama; lihat bagaimana standup comedy di Indonesia (mendadak bisa) jadi lahan penghasilan bagi pekerja seni, karena kemunculannya diawali oleh bincang-bincang beberapa orang, yang sebelumnya hanya saling mengenal via Twitter; saya juga sempat menyaksikan langsung, bagaimana animo anak muda di kota Solo – dan kemudian diikuti oleh kota-kota lain —, untuk mengungkapkan kecintaannya pada Lokananta (yang sebelumnya terbengkalai), hanya melalui movement sebuah tagar di Twitter, tanpa media promosi lain yang jor-joran. Twitter, memang hanya dibatasi oleh 140 karakter, tapi dampak dan manfaat yang bisa dirasakan oleh penggunanya, bisa menjamah individu yang dipisahkan jarak hingga beribu-ribu kilometer.

Sayup-sayup terdengar “Bisanya ngetwit sama ngebacot doang lu di Twitter. Kaya selebtwit aje,” yang kemudian dibalas:
LAH ELU MAU NGAPAIN KALO DI TWITTER? KHATAMAN AL-QURAN? NANEM PALAWIJA?”