Kamis, 28 Februari 2013

Sebuah Anomali Bernama ‘Naples’


Salah satu bentuk kuasa Tuhan bagi umatnya, 13 tahun lalu

30 September 2000: Lini belakang Napoli terlihat panik, ada —hitunglah tiga atau empat—  pemain yang mengerubungi pemain bernomor punggung 10, kemudian salah satu dari mereka berhasil merebut bola; dibuangnya secara ’ngasal’ ke depan. Namun sial, seorang jenius bernomor punggung 21 berhasil membaca arah datangnya bola, tak sampai detik ke lima setelah dia memegang bola, sebuah umpan ciamik mendarat di kaki rekannya —pemilik nomor punggung 10 tadi— yang berada di sisi kiri; dan ‘JEGEEEER!’ sebuah tendangan ke arah pojok kanan gawang. Goal, dan kemudian seantero San Paolo pun terdiam.

13 tahun adalah sebuah rentang waktu yang cukup lama; lebih-lebih jika berbicara soal rekor kemenangan terakhir sebuah klub besar, ketika bertandang ke kandang klub yang prestasi dan raihan pialanya tak sebanyak mereka. Ya, saya berbicara tentang rekor pertemuan Juventus dengan Napoli, dua tim Italia yang saat ini berada di peringkat teratas liga Serie-A.

Terakhir kali Juventus membukukan kemenangan saat melawat ke San Paolo —kandang Napoli— adalah pada saat Serie-A memasuki periode 2000/2001. Saat itu, Juventus ala Carlo Ancelotti dan Napoli rasa Zeman — beserta pola Zemanlandia-nya yang terkenal itu — memberi kesempatan kepada saya untuk menikmati perpaduan dua orang seniman sepakbola; meninggalkan ‘tutorial-bagaimana-bermain-bola-dengan-baik’ kepada generasi penerusnya untuk 10-20 tahun ke depan. Saya yakin, apapun klub sepakbola yang kalian jadikan sebagai agama kedua, sulit rasanya untuk tidak mengagumi mahakarya Del Piero dan Zidane dalam satu tim.

Tapi —karena kita tidak sedang membahas Revolusi Prancis/Gerakan Non-Blok/Liverpool— tentu saja tidak panjang lebar berbicara tentang sejarah. 13 tahun juga merupakan rentang waktu yang lama, ketika berbicara soal kemampuan tim mengembangkan aspek-aspek yang ada di dalamnya; entah pembinaan akademi; finansial; maupun raihan gelar. Dan Napoli adalah salah satu tim Italia yang berhasil memanfaatkan rentang waktu tersebut dengan baik dan benar.

Kedua tim kini berada di garda terdepan perburuan titel Scudetto. Hingga pekan ke-26, Juventus punya selisih 6 poin lebih banyak dibandingkan Napoli. Mengingat Napoli dalam dua laga terakhir membuang kesempatan emasnya untuk memangkas selisih poin dengan Juventus, tentu saja kesempatan emas di kandang sendiri ini tidak ingin mereka sia-siakan. Lebih-lebih, rekor mereka ketika menjamu Juventus di kandang tergolong apik.

Its’s a 3-5-2 show!

Entah kenapa, saya selalu melihat adanya kecenderungan ‘munculnya-duel-lini-tengah-yang-menarik’ ketika dua tim menerapkan skema permainan yang sama. Pun dengan Napoli dan Juventus; mereka hampir selalu menyisakan 3 centreback di lini pertahanan, 2 wingback yang mengapit 3 midfielder di tengah, dan kemudian 2 striker di depan.
Prakiraan Formasi:

Napoli - De Sanctis; Campagnaro, Cannavaro, Britos; Maggio, Behrami, Inler, Zuniga; Hamsik; Cavani, Pandev

Juventus - Buffon; Barzagli, Bonucci, Chiellini; Lichtsteiner, Vidal, Pirlo, Marchisio, Asamoah; Giovinco, Vucinic

Meskipun pada praktiknya, Napoli taktis menggunakan skema 3-4-1-2 dengan menempatkan Hamsik sebagai attacking midfielder, Pandev sebagai seconda punta dan tentu saja Cavani sebagai prima punta, namun secara garis besar Mazzari menempatkan pemainnya hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Conte.

Sektor kiri, menjadi titik lemah Juventus dalam 3 bulan belakangan. Bagaimana tidak, kehilangan Chiellini (cidera), Asamoah (AFCON)  dan — beberapa kali — Marchisio dalam satu kesempatan, ibarat JKT-48 tanpa Melody, Nabillah dan Kinal ketika Team-J tampil di theatre: pertunjukan tetap berlanjut, namun tetap ada sebuah kehilangan besar yang mengganjal bagi para penikmatnya.  Bahkan, Conte sampai mendatangkan Peluso dari Atalanta untuk mem-backup sektor kiri Juventus yang —sebelum mercato— ‘hanya’ di-backup oleh De Ceglie, Giaccherini dan Caceres. Namun menjelang pergantian bulan, mereka semua telah kembali ada di lapangan. Sebuah ‘kado kecil indah’, bagi fans Juventus yang akan mengawali paginya di awal Maret dengan ‘#MarchWish’ atau “March, please be nice to me.

Yang menarik adalah, titik lemah kedua tim merupakan keunggulan masing-masing tim. Juve begitu tidak berdaya, ketika jumpa tim yang sangat kuat dalam skema counter attack; sedangkan Napoli, adalah ahlinya. Lihat bagaimana Napoli mencetak 2 gol di Beijing —saat final Super Coppa Italia — misalnya, atau yang masih hangat, coba saksikan bagaimana ketika Sampdoria menundukkan Juventus di Turin.

Sedangkan Napoli, juga bukan tim yang tampil tanpa celah. Lini belakang mereka sering terlalu baik hati untuk menghibahkan beberapa ruang kosong di depan kotak penalti, untuk kemudian mempersilakan lawan dengan bebasnya melakukan tendangan kencang yang berbuah gol di gawang De Sanctis. Ini menjadi bahaya, mengingat Juventus punya Marchisio, Vidal, dan Paul Pogba. Khusus nama terakhir, harap diperhatikan; remaja berusia 19 tahun ini sudah mengemas 5 gol di musim perdananya (menyamai rekor sang legenda, Alessandro Del Piero, di awal kedatangannya dari Padova) dan 4 di antaranya dihasilkan dari luar kotak penalti. Mungkin sebelum hengkang dari United, ia memanfaatkan fasilitas gratis belajar tendangan gledek dari Scholes di sesi latihan, untuk kemudian datang ke Turin dengan disambut sesi latihan tendangan gledek part II bersama pelatih khusus —yang juga mantan pemain Juventus— Edgar Davids.

Pun dengan Pirlo, yang sejauh ini jadi dirijen permainan Juventus. Bagaimana tidak, sejauh ini dia yang bertanggung jawab atas statistik ini: 86% pass success, 60 long passes/game, total passes/game yang mencapai 549 kali. ‘Matikan Pirlo, maka kemungkinan kamu akan mematikan Juve’ mungkin sudah menjadi rahasia umum bagi semua pelatih Serie-A ketika menghadapi Juventus. Jika mengingat usianya yang jauh dari status ‘muda’ —dan masih tampil menawan—, rasa-rasanya kini saya tahu, alasan kenapa Amy Qanita menyaksikan pertandingan liga Serie-A akhir-akhiri ini.

Tapi hendaknya kita semua tidak lupa, bahwa Napoli selalu mempunyai motivasi tersendiri ketika berhadapan dengan Juventus. Seringkali dicap sebagai tim yang ‘anti-Juve’, musim ini Napoli menyodorkan dua nama yang mau-tidak-mau-harus-diwaspadai, apabila Juventus tidak ingin kedua nama ini menjadi momok mereka di Naples: Cavani dan Pandev.

Cavani sejauh ini sudah mengemas 18 gol, dan tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah seiring berjalannnya giornata Serie-A. Dia adalah bentuk perwujudan sempurna dari definisi Prima Punta, yang menjadi pencarian tak berujung Juventus selama beberapa musim belakangan. Penempatan posisi dan skill-mencetak-gol-dari-segala-panca-indera, adalah salah satu alasan kenapa Napoli bisa konstan berada di peringkat atas kompetisi Serie-A.

Lain halnya dengan Goran Pandev —yang baru mengemas 3 gol sejauh ini—. Pandev, seringkali kalah bersaing untuk masuk starting line up dengan pemain belia Lorenzo Insigne —yang sudah mengemas 5 gol—. Namun ketika berhadapan dengan Juventus, seakan dia menemukan jati dirinya sebagai seorang striker yang hakiki; dia amat sangat sering menjebol gawang Buffon. Bersama Diego Milito dan Julio Cruz, mungkin Pandev adalah salah satu striker yang pada saat duduk di bangku sekolah dasar, sering mencantumkan ‘menjebol gawang Juventus’ di kolom cita-cita dan hobi; berdampingan dengan kolom makanan & minuman favorit di lembar kumpulan biodata teman sekelasnya dulu. Bisa jadi.

Tentu, dengan mengandalkan dua faktor di atas, Napoli berharap lebih untuk bisa memetik poin dan memangkas selisih dengan Juventus. Supporter di Naples pun mungkin sudah meletakkan beberapa ‘persembahan’ unruk penunggu San Paulo di beberapa titik stadion, agar daya magisnya muncul kembali seperti biasa; seperti ketika menjamu Juventus. Kehilangan poin dan menambah selisih angka dengan Juve, akan semakin mendekatkan mereka dengan kemungkinan tanpa gelar musim ini.

Sebelum anda meng-close laman ini, ada baiknya kita menyimak komentar sang legenda hidup Napoli, Diego Maradona, ketika dimintai pendapat soal duel di Naples nanti:

“…….why should we gift them the Scudetto? Napoli has to be there. Juventus isn't better than Napoli. It's only more practical. We can't give in. We know that away from home, Juventus is not the same as they are in Turin. The Scudetto race is open."


Sabtu, 23 Februari 2013

Clash of the Cash



'tahun depan lu udah ga pake kaos itu kan?' - 'aaah bisa aja nih si cola'


Jika menilik 1 tahun ke belakang, Chelsea dan Manchester City adalah dua tim yang paling bertanggung jawab atas besarnya nominal kerugian para bandar judi bola. Bagaimana tidak, ketika para penikmat bola di manapun berada mengkerucutkan nama yang diprediksi bakal menjuarai UEFA Champions League (UCL) pada satu tim, yaitu Barcelona ― tiba-tiba Chelsea dengan gagahnya berhasil menumbangkan pasukan Catalan tersebut di semifinal. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ketika berada di final mereka berhasil membuat orang mau-tidak-mau-harus-percaya dengan jargon ‘bola itu bundar’, ketika berhasil membukukan kemenangan lewat titik penalti di Allianz Arena; markas Bayern Munchen, yang tidak lain adalah lawan tandingnya di final. Ya, menumbangkan klub yang dianggap sebagai tim terbaik dalam 1 dekade terakhir di semifinal, menumbangkan tuan rumah lewat titik putih setelah tertinggal terlebih dahulu, dan yang lebih mencengangkan lagi: mereka melakukannya di bawah asuhan pelatih yang baru menangani tim dalam hitungan bulan. Mungkin, perjalanan Chelsea di musim 2011/2012 adalah salah satu cerita paling dramatis yang bisa menjadi dongeng bagi anak-cucu fans mereka kelak. Mungkin.

Pun dengan City. 

Tak lagi menjadi kampiun di liga domestik selama 44 tahun, diduga menjadi penyebab kalahnya ratio kemunculan tagar #CTWD dibanding tagar #GGMU milik tetangga sekotanya. Iming-iming “bisa menyisipkan imbuhan ‘Gallagher’ di belakang nama supaya terdengar keren” bagi siapapun yang bersedia menghapal chant dan urutan pelatih tim dalam 1 dekade terakhir; nampaknya masih kurang untuk menjaring supporter City.  Persebaran pendukung mereka di berbagai penjuru belahan dunia pun tentu kalah dibanding Manchester United. Tapi nampaknya, itu bukan menjadi alasan untuk tidak menjuarai liga. Berhasil menduduki posisi puncak klasemen di detik-detik terakhir, (plus, tragedi El Thrashico yang membuat fans mereka gemar berteriak ‘SIX IN THE CITY, BABY!’ sampai hari ini) adalah pencapaian tertinggi pasukan arahan Mancini di musim 11/12. Mereka berhasil mematahkan dominasi rival sekotanya pada musim itu. Puasa gelar 44 tahun pun terhenti.

Tapi musim ini, jalan cerita kedua tim tadi sungguh berbeda. Chelsea, dengan tidak terhormatnya terlempar dari fase group UCL dengan status juara bertahan. Di Matteo pun harus merasakan bagaimana ke-Jahudi Ashkenazi-an Abramovich mendepak dia dari kursi kepelatihan. Sekalipun mengawali musim dengan amat sangat meyakinkan, tapi memasuki pekan ke-26, nampaknya mereka harus rela menempatkan diri sebagai penonton perburuan gelar intern, antara Manchester United – blunder lini belakang United karena 12 poin terasa terlalu banyak bagi saya dari peringkat ke-3.

City pun demikian. Ibarat anak usia 10 tahun yang kekenyangan, lantas kesulitan berjalan menuju masjid untuk shalat Tarawih karena terlalu banyak menghabiskan makanan saat berbukasetelah seharian penuh berpuasa; laju City di musim ini pun tidak jauh berbeda. Gelar juara liga dirasa masih terlalu ‘mengenyangkan’ City setelah puasa gelar selama 44 tahun.  Sebagai konsekuensi atas ‘kekenyangan’-nya, mereka terlempar dari fase group dengan predikat sebagai juru kunci; setelah ‘hanya mampu’ 3 kali seri dan 3 kalah. Beruntung, predikat barunya tak membuat mereka didatangi warga sekitar untuk dimintai wangsit.  Dan oh iya, dan jangan lupakan 12 poin itu.

Di luar semua faktor itu, tentu kedua laga ini tetap menarik untuk ditonton. Melihat bagaimana banyak orang menyematkan duel ini dengan label ‘El Ca$hico’ beberapa hari belakangan, tentu membuat tensi pertandingan ini  semakin meningkat.  Sayang, MNC TV tidak begitu membantu meningkatkan tensi laga hanya dengan menyematkan label ‘SUPER BIG MATCH’ di TVC-nya, seperti semua laga EPL yang mereka siarkan. 

City dan Chelsea sama-sama baru menjalani laga kandang, beberapa hari yang lalu. City berhasil menumbangkan Leeds 4-0 dalam lanjutan kompetisi FA Cup, sedangkan Chelsea harus menjamu Brentford, yang kemudian dilanjutkan dengan laga melawan Sparta Praha 4 hari setelahnya. Hanya bermain imbang 1-1, tapi hasil ini tetap membuat armada Rafael Benitez melaju ke babak 16 besar Europa League (EL).
Di atas kertas, City tentu memiliki stok pemain yang jauh lebih fit dibandingkan Chelsea. Tapi jangan lupa, ada beberapa pemain kunci yang diragukan tampil dari pihak City. Di antaranya: Vincent Kompany, Javi Garcia, dan Gareth Barry.  Sedangkan di kubu Chelsea, hampir semua pemain kunci mereka siap untuk bertanding. Hanya Torres yang masih diragukan tampil (entah ini keuntungan atau kekurangan), Demba Ba mungkin akan mengawali laga sebagai starter. Ivanovic, Luiz dan Cole juga kemarin sengaja disimpan oleh Benitez ketika menjamu Sparta Praha di Stamford Bridge.

City dan Chelsea hampir memiliki kesamaan dalam urusan formasi. Sama-sama gemar memakai 4-2-3-1 (meskipun praktiknya, City cenderung taktis ke 4-2-2-2, dengan duet Tevez – Dzeko/Aguero).  Jamya untuk sekedar mengingat, Chelsea pernah berhadapan dengan tim yang menggunakan formasi serupa —yaitu Newcastle— dan hasilnya mereka tumbang 3-2. Dan tentu kita semua tahu, bagaimana kedigdayaan Moussa Sissoko memporak-porandakan lini pertahanan Chelsea. Dan yang paut dicermati adalah: bagaimana Santon yang notabene bukan fullback dengan label ‘wow’, ikut naik ke depan dan berhasil membuat 2 assists. Belum lagi saat Reading berhasil menahan imbang Chelsea 2-2, 2 gol (dari hanya 5 shots yang mereka buat) semua berasal dari sektor kanan Chelsea. Ya, lini kanan Chelsea adalah salah satu ‘lubang yang menganga dengan ukuran paling besar’ di antara lubang-lubang  yang lain. 

City diprediksi bakal mengandalkan duet Tevez – Silva untuk memberikan suplai bola ke Aguero/Dzeko. Silva sendiri merupakan anggota kehormatan sayap kiri terbaik dunia, bergabung dengan Lenin dan Tan Malaka; bukan perkara sulit bagi dia untuk membuat linglung Ivanovic – Azpilicueta selayaknya duet Ishizaki – Urabe di timnas Jepang-nya Tsubasa. Sejauh ini, dia sudah berhasil membuat 5 assists, hanya kalah 2 angka dibanding Tevez. Sedangkan Tevez,  saya rasa lebih cocok ketika diduetkan dengan Aguero. Memang, Dzeko sudah membuat 12 gol, unggul dibandingkan  rataan gol Aguero dan Tevez (9 & 7), tapi Tevez dan Aguero adalah striker yang memiliki tipikal hampir serupa. Gemar berlama-lama membawa bola dan memberikan tekanan ke depan, sembari memberikan ruang kepada pemain lain untuk mencetak gol. Hal ini mutlak diperlukan, karena ketika dua tim yang memiliki formasi serupa bertemu, tipikal pemain seperti ini yang diharapkan mampu membuka ruang bagi rekan-rekan timnya. Bukan tidak mungkin, gol City akan datang dari lini tengah.

Dari 38 laga kandang terakhir City, mereka 37 kali tidak terkalahkan. Namun bukan berarti mereka akan melakoni laga kali ini dengan mudah. Perlu diketahui, Chelsea masih punya seorang Frank Lampard. Melihat bagaimana Lampard menduduki posisi pencetak gol terbanyak Chelsea dengan 11 gol, unggul dibanding Mata dan —yang sudah kita ketahui bersama— Torres,  adalah sebuah keasyikan tersendiri. Dia yang digadang-gadang bakal didepak oleh skuad pada musim depan, seakan terus membuktikan bahwa melepas —bahkan baru merencanakan— adalah sebuah keputusan yang mungkin akan mereka sesali.  Saya lebih menikmati pertandingan ketika Ramires diduetkan dengan Lampard, dibandingkan duet Ramires – Mikel ada di depan lini pertahanan Chelsea. Dia patut diberi porsi lebih pada laga kali ini.
 
Baiklah. Jadi  menurut anda, tagar #CTWD atau #KTBFFH yang harus saya mute setelah laga?

Kamis, 21 Februari 2013

Revival Slime vs Osiris



"Wis, ngalamat sarapan sego nget-ngetan ki" - Messi kepada bandar.


Bagi siapapun yang mengikuti perkembangan dunia anime, mungkin tidak begitu asing dengan judul di atas. Ya, judul di atas adalah salah satu judul chapter di komik 'Yu-Gi-Oh', yang dirilis dalam versi komik seri ke-20, dengan judul "The Pressuring God."

Saya tentu tidak akan panjang lebar bercerita tentang bagaimana jalan cerita komik karangan Kazuki Takahashi itu. Tapi, kiranya ada sebuah kemiripan antara alur cerita di chapter itu, yang bisa merefleksikan pertandingan antara Milan vs Barca semalam.

"Revival Slime vs Osiris" bercerita tentang bagaimana sebuah monster card yang memiliki attack poin 1500 dan defense poin 500 sebuah nominal yang kecil di ranah battle card yu-gi-oh memenangkan duel melawan kartu berlabel 'dewa' yaitu Saint Dragon The God of Osiris. Osiris tak memiliki nominal poin, di kartunya hanya terpampang X000. Akan tetapi, dia bukan dipanggil 'dewa' tanpa sebab. 'X' di attack/defense poin-nya adalah angka yang merujuk jumlah kartu yang ada di deck lawan. Semakin banyak kartu yang keluar, semakin tinggi nominal angka 'X' yang ada di attack/defense poin.

Di atas kertas, Revival Slime tak mungkin bisa menang melawan Osiris. Sama seperti halnya Dewa buatan Ahmad Dhani, Dewa di card duel Yu-Gi-Oh pun punya kelemahan. Di card duel Yu-Gi-Oh, seorang duelist harus tetap memiliki kartu di deck-nya, sebagai syarat meneruskan pertandingan. Di duel itu, Osiris kewalahan menghadapi Revival Slime defense mode yang dibentengi oleh card trap Defense Slime & Repayment of Life. Kedua card trap ini adalah kunci, di mana setiap serangan dari Osiris akan 'dimentahkan' oleh defense slime dan kemudian menjadi mubadzir, karena Repayment of Life membuat kedua pemain di harus membuang 3 kartu ke graveyard setiap kali gilirannya datang. Combo ini terus berulang, sampai akhirnya Osiris mencapai attack poin 28.000, tapi menyisakan 0 kartu di deck-nya. Yugi Mutou 1 - 0 Malik.

Pun dengan pertandingan Milan - Barcelona semalam.

Datang ke San Siro dengan penuh keyakinan karena menyandang gelar sebagai pemuncak klasemen di fase group UCL dan pemuncak klasemen di La-Liga, Barcelona seolah-oleh datang ke Milan hanya untuk berlibur & berbelanja kebutuhan fashion team, yang kemudian disisipi agenda pemanasan ringan melawan El Shaarawy & friends FC oleh manajemen tim.

A.C Milan pun sebetulnya tak jauh berbeda dengan Barcelona. Mengawali musim dengan start terburuk dalam 2 dekade terakhir hingga akhirnya sempat nangkring di posisi 7 klasemen , mereka perlahan tapi pasti mulai menunjukkan jati dirinya dengan merangkak naik ke posisi 3 klasifika. Moral tim pun sedang bagus, karena pasca kedatangan si bengal Balotelli, tim ini terus memetik hasil positif di liga.

Tapi, semua keberhasilan itu nampak tidak berarti jika dihadapkan dengan kedigdayaan pasukan Catalan. Ibarat sukses penjualan single album Cakra Khan yang meledak laris di pasaran Indonesia, single itu hanya akan menjadi olok-olok & backsong tvc obat pelega tenggorokan di ranah yang jadi kiblat industri musik dunia, Amerika & UK. Keberhasilan pelakunya di ranah masing-masing, memiliki standar yang sungguh jauh berbeda.

Sebelum pertandingan dimulai, sulit bagi saya untuk menentukan kepada siapa dukungan saya berlabuh. Di satu sisi, Milan adalah salah satu tim yang saya benci di Serie-A, karena selalu menyulitkan langkah Juve dalam perburuan gelar (lebih-lebih ke Mexes & Boateng). Namun, di satu sisi saya juga tak ingin melihat nama belakang saya menang, karena jujur saja saya sudah bosan melihat dominasi Barcelona di setiap kompetisi yang mereka ikuti.

Namun untuk sesaat, akal sehat saya ikut berperan untuk mengalamatkan dukungan di match kali ini.

Kemenangan Milan di San Siro, tentu akan memuluskan langkah mereka ke babak perempat final UCL. Jika skenario ini berjalan lancar, bersama Juventus mereka akan menambah nilai plus serie-A di koefisien liga peserta UCL. Seperti yang kita ketahui, semenjak terlempar dari top three liga Eropa, serie-A praktis hanya boleh mengirimkan 3 wakilnya di kancah UCL. Imbasnya, pemain dengan label 'top' tak lagi sering kita dengar seliweran di mercato, selayaknya apa yang biasa tim-tim besar Italia lakukan pada periode 90- 2000'an awal. Jadi, kemulusan langkah 2 wakil Italia di UCL adalah mutlak, apabila mereka mengharapkan kejayaan serie-A kembali lagi seperti dulu.

Saat mengetahui Allegri menerapkan formasi 4-4-3, hal pertama yang saya cari adalah: di mana dia menempatkan Boateng. Allegri cukup waras dengan menempatkan dia sebagai winger, bukan sebagai trequartista seperti biasanya di 4-3-1-2. Jujur, melihat dia mengenakan nomer 10 dan bermain sebagai treq di Milan, bagi saya merupakan salah satu bentuk penghinaan untuk Rui Costa dan Seedorf. Selain karena dia tak memiliki skill pemain tipikal classic number ten visi, holding ball, akurasi passing di atas rata-rata seperti biasa, dia adalah salah satu pemain ter-tengil di dalam tim. Menantikan headline "Ballotelli vs Boateng" di laman La Gazetta Dello Sport, hanya jadi bom waktu buat saya.

Mengawali laga dengan terus menekan sepanjang pertandingan, Barcelona nampak memberi angin segar kepada fans-nya di seluruh dunia yang gemar ber-#ViscaBarca di manapun mereka sanggup menuliskannya itu. Seakan mereka berkata "tenang, di babak kedua kita baik hati ga ngejebol Abbiati lebih dari 3 gol".

Tapi alih-alih mencuri gol, justru mereka lah yang kebobolan terlebih dulu. Boateng memanfaatkan dengan baik, assist dari Kobe "Zapata" Bryant. Sesuatu yang membuat timeline saya dipenuhi dengan tulisan "wasit asu! wasit goblok, atau wasit dibayar!"

Jika Milan adalah Revival Slime, maka boleh dibilang Massimo Ambrosini adalah Defense Slime Milan. Lihat bagaimana dia membuat Xavi - Iniesta tak lagi tampil selayaknya pasangan emas Tsubasa - Misaki, namun lebih seperti jebolan Primavera yang baru saja menjalani laga debut di liga profesional. Ambrosini memang tak seperti Montolivo, yang terlihat berandil besar dalam skema serangan Milan, namun ketika Milan dalam posisi bertahan, dia tahu harus berbuat apa. Hanya berhasil membuat 9 dari rataan biasanya yang mencapai 30 touches/match, dan menghibahkannya secara ikhlas ke Messi 1 dari kebiasaan 6 touches/match, adalah bukti betapa 'seret'-nya suplai bola dari lini kedua Barca. Dan sekali lagi, Ambrosini yang paling bertanggung jawab atas statistik ini.

Gol dari Muntari, seakan mengukuhkan pendapat para pengamat yang meragukan posisi Pique di best starting-XI FIFA kemarin. Lubang menganga yang dia buat, tak lagi disia-siakan oleh Muntari. Mungkin dia belajar banyak dari pertemuan Juventus - Milan season lalu. Setelah laga, kini dia tak lagi trauma dengan siapapun yang berteriak 'oit! Dapet salam dari hakim garis tuh!' kepadanya.

Tapi Barca tetaplah Barca. Sekalipun kalah, mereka harus punya nilai lebih yang mungkin bisa diunggul-unggulkan oleh remaja ber-#ViscaBarca. Barca unggul jauh dalam ball possesion, dibanding Milan. Rataan mereka mencapai angka 66% meleset 4% dari perkiraan orang-orang dan menyisakan 34% sisanya untuk AC Milan. Seperti kebanyakan team yang doyan ber-false-nine-ria, unggul penguasaan bola adalah wajib fardlu, tampil menghibur sembari kutak-katik-umpan-satu-sentuhan atau biasa disebut "Tiki-Taka" adalah sunnah muakad. Sedangkan kemenangan adalah makruh. Sungguh berbeda dengan filosofi permainan Milan pada malam itu.

Jauh dari kategori 'menghibur', menempatkan 9 pemain di daerah pertahanan sembari menyisakan 1 prima punta di depan, kalah jauh di penguasaan bola, adalah salah satu alasan yang menyebabkan penikmat bola di seluruh dunia mengambil kopi 3 sendok lebih banyak saat jeda babak pertama kemarin. Milan sungguh jauh dari kata 'berbahaya'. Catenaccio/Zone Press Up Match System atau apapun itu namanya, memang seperti raut muka Sultan Bhatoegana: tak pernah sedap dipandang mata. Namun, strategi ini sangat efektif ketika menghadapi Barca yang sering lupa diri menerapkan all-out-attack. Lihat bagaimana Inter 09/10, Chelsea 11/12, Celtic 12/13 berhasil meredam 'amukan' Messi dkk. Berlama-lama menahan bola di daerah aman sembari menumpuk pemain bertahan, terbukti ampuh ketika berhadapan dengan gempuran L1 - X - X - L1 -X - milik Barca. Allegri kini bergabung bersama Mourinho, Di Matteo, dan Lennon, sebagai penasehat Jokowi untuk memperbaiki kualitas armada bus Transjakarta dalam 5 tahun ke depan.

Setelah laga, Allegri merayakan euphoria ini dengan berkunjung ke salah satu kafe di kota Milan. Ketika baru saja membuka pintu masuk, seisi pengunjung kafe memberikan tepuk tangan sebagai bentuk penghargaan atas kejeniusannya di laga semalam. Sungguh, bertentangan dengan sikap supporter mereka di awal musim yang menginginkan Allegri pergi setelah memetik rentetan hasil buruk di kompetisi dalam negeri.

Barca sang Osiris pun tumbang di hadapan Revival Slime, A.C Milan. Tim yang dianggap terbaik di dunia dalam 2 dasawarsa terakhir, tunduk di hadapan tim yang diklaim sebagai skuad-terburuk-dalam-sejarah-klub di 2 dasawarsa terakhir pula. Siapapun yang dianggap 'dewa', pastilah tetap memiliki celah, dan Allegri paham benar bagaimana memanfaatkan titik lemah tersebut. Pazzini - Boateng - Muntari - Mexes - Abate pun seakan memberi bukti, bahwa Milan tak lagi perlu Van Basten - Seedorf - Rijkaard - Tasotti - Maldini, hanya untuk mempertahankan harga diri tim. Ketika mereka diberi arahan dan porsi yang mumpuni, status 'medioker' yang mereka sandang pun seakan menjadi tak penting lagi.